1.
Teori Sewa Lahan (J.H Von Thunen)
Von Thunen melalui
teorinya mrnciptakan contoh cara berfikir efektif yang di dasarkan atas
penelitian statistikm yang mulai dengan model sederhana selangkah demi
selangkah memasukan komlikasi atau unsur baru sehingga semakin mendekati
konkret. Ia mengembangan suatu teori bahwa sewa tanah dan teori produktivitas
marginal yang diterapkan dalam upah dan bunga.
Von
Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi pertanian berhubungan dengan pola
tata guna lahan di wilayah sekitar pusat pasar atau kota. Ia mengeluarkan
asumsi-asumsi sebagai berikut :
1.
Pusat pasar atau kota harus berada di
lokasi paling pusat suatu wilayah yang bersifat homogeny secara geografis kota
itu sendiri
2.
Berbanding lurus antara biaya
transportasi dengan jarak
3.
Setiap petani yang berada di lokasi
sekitar pusat pasar atau kota akan menjual kelebihan hasil pertaniannya ke
kota, dan biaya transportasi ditanggung pihak penjual.
4.
Petani cenderung akan memilih jenis
tanaman yang dapat menghasilkan manfaat dan profit maksimal. Jenis tanaman yang
ditanam rata-rata mengikuti permintaan pasar.
5.
Biaya transportasi propodional terhadap
jarak dari kota
6.
Produksi pertanian mempunyai skala hasil
yang tetap.
Dari
asumsi di atas mendesak para petani berani menyewa lahan yang dekat dengan
pusat pasar atau kota, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hasil
pertaniannya maksimal. Tentunya mereka juga harus mengorbankan nomial cukup
besar untuk menyewa lahan. Karena semakin dekat dengan suatu lahan dengan pusat
pasar atau kota, semakin besar harga sewa lahannya. Petani yang berperan
sebagai pelaku produksi memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menyewa
lahan. Makin tinggi kemampua pelaku produksi untuk membayar sewa lahan, makin
besar peluang untuk melakukan kegiatan di lokasi dekat pusat pasae atau kota.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan lokasi mempengaruhi nilai harga lokasi
tersebut sesuai dengan tata guna lahannya.
2.
Teori Aglomerasi Weber (Teori Lokasi
Industri)
Teori Lokasi Alfred
Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Buku ini
diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1929 oleh C.J. Friedrich dengan
judul Alfred Weber’s Theory of Location
of Industries. Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber
mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total
biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum.
Menurut Evers (1985), Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja
yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum oleh karena
itu Asumsi teori weber adalah :
1.
Masukan atau lokasi bahan baku terletak
pada lokasi yang tetap
2.
Pasar juga terletak pada lokasi yang
tetap
3.
Para produsen menghadapi persaingan
murni dalam membeli semua masukan dan menjual keluaran-keluaran.
4.
Terdapat jaringan transport yang sama.
Dimana pada jaringan ini memungkinkan masukan dan keluaran dipindahkan di
segala arah dengan tarip tetap per satuan jarak.
Menurut
Weber, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu :
a. Biaya transportasi merupakan faktor regional yang bersifat umum
b. Upah tenaga kerja
c. Dampak aglomerasi dan deaglomerasi bersifat lokal dan khusus.
a. Biaya transportasi merupakan faktor regional yang bersifat umum
b. Upah tenaga kerja
c. Dampak aglomerasi dan deaglomerasi bersifat lokal dan khusus.
Weber berbasis kepada
beberapa asumsi utama, antara lain:
1)
Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu
saja (Given),
2)
Situasi dan ukuran tempat konsumsi
adalah tertentu juga, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna,
3)
Ada beberapa tempat pekerja yang
bersifat tak mudah bergerak (Immobile).
Selain itu, Weber juga
mengelompokkan industri menjadi dua, yaitu:
1.
Industri yang berjenis weight losing (industri yang hasil
produksinya memiliki berat yang lebih ringan daripada bahan bakunya, misalnya
industri kertas). Industri ini memiliki indeks material < / > 1). Dengan
indeks material > 1, maka biaya transportasi bahan baku menuju pabrik akan
lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi produk jadi menuju
pasaran (market). Oleh karena itu, lokasi pabrik seharusnya diletakkan di dekat
sumber bahan baku (resources oriented).
2.
Industri yang berjenis weight gaining, lokasi industri ini
lebih baik diletakkan di dekat pasar. Penggunaan kedua prinsip untuk menentukan
lokasi industri di atas akan mengalami kesulitan apabila berat benda yang masuk
ke dalam perhitungan tidak jauh berbeda.
Pada intinya, lokasi
akan optimal apabila pabrik berada di sentral, karena biaya transportasi dari
manapun akan rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu
transportasi bahan mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi hasil
produksi yang menuju ke pasaran.
Weber juga menjelaskan
mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan
pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi
dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai
produk. Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah
atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus industri. Aglomerasi primer di
mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan perusahaan lama,
dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi adalah perusahaan
yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada perusahaan yang lama.
Sedangkan Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk memilih
lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain.
Lokasi optimal dapat
dicapai biasanya dengan kecenderungan memilih lokasi yang memberikan biaya
terkecil (least-cost theory), dimana
biaya terkecil dapat dicapai dengan cara mekanisme perhitungan rasio
hasil-bahan / indeks bahan atau yang sering disebut dengan material index ( MI
). Indeks bahan baku bersifat ubiquitous
yang artinya ada di mana-mana.
MI = berat bahan baku lokal/berat produk
Dimana nilai MI > 1, berarti berat
bahan mentah > dari berat produk, lokasi berorientasi bahan mentah, MI <
1, berat bahan mentah < dari berat produk, berarti lokasi akan berorientasi
ke pasar akhir, MI = 1, berarti berat bahan mentah = berat produk, lokasi dapat
dimana-mana. Weber mengembangkan konsep tiga arah yang dikenal dengan teori
segitiga lokasi (locational triangle),
dirumuskan secara matematis dengan sebuah persamaan:
T(k) = q [ (
) + ((
)
+ m
]
Ket:
T(k) = biaya angkut minimum , M = sumber bahan
baku
C = pasar atau K = lokasi optimal
q = output (hasil produksi) , k = jarak
dari sumber bahan baku dan pasar
a = koefisien input , n = biaya angkut bahan
baku
m = biaya angkut hasil produksi
Berdasarkan
pertimbangan segitiga lokasi di atas, dihasilkan tempat dengan biaya
transportasi minimal (minimum transportation cost) dengan titik-titik
penghubung satu sama lain, yang kemudian akan diperoleh sebuah kurva tertutup
(closed curve) merupakan lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).
3.
Teori Tempat Sentral (Christaller)
Dalam penentuan
lokasi permukiman, dibutuhkan analisis dengan metode yang tepat agar lokasi
tersebut optimal. Penentukan lokasi permukiman ini perlu memperhatikan
aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Aspek tersebut dapat disebut juga
sebagai satuan permukiman. Adapun syarat
dari satuan permukiman antara lain adanya lokasi (lahan) dengan lingkungan dan
sumber daya yang mendukung, adanya kelompok manusia (masyarakat), sumber daya
buatan, dan terdapat fungsi kegiatan ekonomi sosial dan budaya.
Teori Christaller (1933)
menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya
di dalam satu wilayah. Bunyi teori Christaller adalah Jika persebaran penduduk dan daya belinya sama baiknya
dengan bentang alam, sumber dayanya, dan fasilitas tranportasinya, semuanya
sama/seragam, lalu pusat-pusat pemukiman mennyediakan layanan yang sama,
menunjukkan fungsi yang serupa, dan melayani area yang sama besar, maka hal
tersebut akan membentuk kesamaan jarak antara satu pusat pemukiman dengan pusat
pemukiman lainnya.
Konsep
Teori Christaller
- Range (jangkauan)
- Jarak yang perlu ditempuh untuk mendapatkan kebutuhannya.
- Threshold (ambang penduduk) Jumlah minimal penduduk untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa.
Central
place yang menyediakan
barang dan jasa untuk wilayah
disekelilingnya membentuk sebuah hierarki. Makin tinggi tingkat barang dan
jasa, makin besar range-nya dari penduduk di tempat kecil. Christaller
berasumsi pada homogenitas karakter
fisik dan homogenitas
karakteristik penduduk. Christaller menggunakan bentuk hexagon untuk menggambarkan
wilayah-wilayah yang saling bersambungan. Lingkaran yang mencerminkan wilayah
yang saling bertindih lalu dibelah dua dengan garis lurus. Sehingga dapat
dipilih lokasi yang paling efisien. Sehingga dengan membayangkan
hexagonal-hexagonal tersebut tercipatalah hierarki pemukiman dan wilayah
pasaran.
Berikut
ini asumsi – asumsi Christaller dalam penyusunan teorinya :
- Konsumen menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat pusat dinyatakan dalam biaya dan waktu
- Jangkauan (range) suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.·
- Konsumen memilih tempat pusat yang paling dekat untuk mendapatkan barang dan jasa.
- Kota-kota berfungsi sebagai tempat pusat bagi wilayah disekitarnya.·
- Wilayah tersebut adalah suatu dataran yang rata, mempunyai ciri-ciri ekonomis sama dan penduduknya juga tersebar secara merata.
Teori
tempat pusat memiliki elemen dasar yang terdiri dari : fungsi sentral, yakni
adanya suatu tempat pusat yang dibentuk oleh fungsi yang besifat memusat
karena fungsi (barang/jasa) hanya ada
pada beberapa titik tertentu saja. Threshold
(batas ambang) adalah jumlah penduduk tertentu yang mendukung keberadaan fungsi
tertentu. Fungsi dalam hal ini yaitu kelancaran dan keseimbangan suplai barang.
Jumlah yang dimaksud dapat meliputi beberapa puluh keluarga bagi satu atau
beberapa ratus keluarga bagi suatu pasar harian. Kalau jumlah itu di bawah
jumlah tertentu/ambang, maka pelayanan menjadi mahal dan kurang efisien;
sebaliknya bila meningkat di atas jumlah ambang pelayanan akan menjadi kurang
baik dan kurang efektif. Bila kegiatan itu menyangkut jual beli maka jumlah
penduduk di bawah ambang akan mengakibatkan rugi dan terancam tutup; sebaliknya
bila di atas ambang maka akan memperoleh untung dan mengundang entry serta
dalam jangka waktu tertentu mempertajam persaingan.
Kemudian
range yakni jarak di mana penduduk masih mau untuk melakukan perjalanan untuk
mendapatkan pelayanan atau fungsi tertentu. Lebih jauh dari jarak ini orang
akan mencari tempat lain yang lebih dekat untuk memenuhi kebutuhannya akan jasa
yang sama. Dari elemen dasar tersebut muncullah sebuah pola, yaitu pola
heksagonal. Pola heksagonal yaitu pusat-pusat membentuk segitiga pelayanan yang jika digabungkan akan
membentuk pola heksagonal yang merupakan wilayah pelayanan yang dianggap
optimum.
Menurut
Christaller, pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut
pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan
jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat, yaitu:
·
topografi yang seragam sehingga tidak
ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain
dalam hubungan dengan jalur pengangkutan;
·
kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak
memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau
batu bara.
Gambar:
Pola berbentuk heksagonal (segienam) Christaller
·
Teori
Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah
kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan
suatu sistem geometri yang menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan
menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.
(a)
Prinsip pasar
(marketing principle) k=3 : pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, seperti
pasar, sering disebut kasus pasar optimal. Dinamakan K=3 (K3), karena suatu
kegiatan di tempat pusat akan melayani 3 tempat pusat untuk fungsi di bawahnya
yaitu 1 tempat pusat sendiri di tambah 2 tempat pusat hirarki di bawahnya.
(b)
Prinsip lalu lintas (traffic principle) k=4 : bagaimana meminumkan jarak penduduk untuk
mendapatkan pelayanan fungsi di tempat pusat. Bersifat linier, karena tempat
pusat berada pada titik tengah dari setiap sisi heksagon. Sehingga daerah
tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh senantiasa memberikan
kemungkinan jalur lalu lintas paling efisien, sering disebut situasi lalu
lintas yang optimum. Teori ini disebut sebagai k=4 karena 1 empat pusat
melayani empat tempat pusat lain; 1 pada tempat pusatnya itu sendiri dan 3 dari
tempat pusat lain.
(c)
Prinsip administrasi (administrative principle)
k=7 : wilayah ini mempengaruhi wilayahnya sendiri dan
seluruh bagian wilayah – wilayah tetangganya, prinsip utamanya adanya
kemudahan dalam rentang kendali pengawasan pemerintahan, sehingga sering disebut situasi administrative
optimum dimana keenam pusat hirarki di
bawahnya berada pada batas wilayah pelayanan hirarki di atasnya.
Teori
Tempat Pusat oleh Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran
kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller
menggambarkan area pusat-pusat kegiatan jasa pelayanan cenderung tersebar di
dalam wilayah membentuk pola segi enam, yang secara teori bisa memberikan
keuntungan optimal pada kegiatan tersebut. Tempat – tempat pusat tersebut yakni sebagai suatu tempat
yang menyediakan barang dan jasa-jasa bagi penduduk daerah belakangnya.
Elemen
– elemen tempat pusat yakni range (jangkauan), threshold, dan fungsi sentral
Ketiga elemen itu yang mempengaruhi terbentuknya tempat pusat dan luasan pasar
baik pelayanan barang maupun jasa pada suatu wilayah. Teori tempat pusat
merupakan teori mengenai hubungan fungsional antara satu tempat pusat dan
wilayah sekelilingnya. Juga merupakan dukungan penduduk mengenai fungsi
tertentu. Christaller tidak mendasar pada jangkauan wilayah pasar, dan meiliki
hirarki – hirarki dalam pola heksagonalnya. Luas wilayah pasar juga tidak
tergantung pada barang yang diproduksi.
4.
Perluasan Teori Tempat Sentral Losch
Losch
mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat
dijaringnya. Makin jauh dari pasar, konsumen enggan membeli karena biaya
transportasi (semakin jauh tempat penjualan) semakin mahal. Produsen harus
memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar. Losch menyarankan lokasi
produksi ditempatkan di dekat pasar (baca: Centre Business District).
Losch
juga berpendapat bahwa pasar tidak hanya dapat disusun menurut pengaturan
3,4 atau 7 tetapi masih memungkinkan lebih banyak susunan daerah pasar dalam
suatu jaringan. Lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen
yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan
membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal.
Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat
pasar. Sehingga menurut Losch tidak ada alasan mengapa daerah pasar
dikaitkan dengan pusat – pusat produksi dan bersifat kaku seperti yang
diungkapkan christaller. Dalam hal ini, pusat jaringan penting tetapi lebih
diharapkan pusat mampu melayani semua wilayah pasar atau yang dinamakan
metropolis. Metropolis merupakan pusat dari seluruh jaringan dan mempunyai
order tertinggi. Selanjutnya jaringan tersebut ditata sedemikian rupa sehingga
dari titik pusat (metropolis) tersebar banyak alternative sector. Menurut
Losch, pusat – pusat wilayah pasar dibagi menjadi sector “kota kaya” (city
rich) dan “kota miskin” (city poor). Sektor kota kaya mempunyai karakteristik :
1)
Jaringan market area yang luas
2)
Aktifitasnya banyak sehingga order lebih
tinggi
Sedangkan,
untuk kota miskin memiliki karakteristik :
1)
Jaringan market area yang sempit
2)
Aktifitasnya sedikit sehingga order
lebih rendah
Kontribusi
utama Losch adalah memperkenalkan
potensi permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam lokasi industri,
Kedua, kritik terhadap pendahulunya
yang selalu berorientasi pada biaya terkecil; padahal yang biasanya
dilakukan oleh industri adalah memaksimalkan keuntungan (profit–revenue
maximation) dengan berbagai asumsi, Losch mengemukakan bagaimana economic
landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara supply
dan demand. Oleh karena itu Losch merupakan pendahulu dalam mengatur
kegiatan ekonomi secara spasial dan pelopor dalam teori ekonomi regional
modern.
August
Losch merupakan orang pertama yang mengembangkan teori lokasi dengan segi
permintaan sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola
lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch
berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tidak teratur dapat
diketemukan pola keberaturan.
Teori
Losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber bahan mentah
dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama. Kegiatan
ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala kecil
yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-masing.
Perdagangan baru terjadi bila terdapat kelebihan produksi. Untuk mencapai
keseimbangan, ekonomi ruang Losch harus memenuhi beberapa syarat sebagai
berikut :
1)
Setiap lokasi industri harus menjamin
keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli.
2)
Terdapat cukup banyak usaha pertanian
dengan penyebaran cukup merata sehingga seluruh permintaan yang ada dapat
dilayani.
3)
Terdapat free entry dan tidak ada petani
yang memperoleh super-normal prpfit sehingga tidak ada rangsangan bagi petani
dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.
4)
Daerah penawaran adalah sedemikian
hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum.
5)
Konsumen bersikap indifferent terhadap
penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang
rendah.
Wilayah
homogen adalah wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan keseragaman atau
seperangkat ciri atau karakteristik tertentu dari aspek fisik, sosial, ekonomi,
budaya dan lingkungan beserta kombinasi dan turunannya. Wilayah homogeny
dibatasi oleh keseragaman secara internal (internal uniformity). Sifat
dan cirri homogenitas dalam hal
ekonomi seperti struktur produksi dan
konsumsi yang homogem dan tingkat pendapatan yang homogen. Dalam hal geografi
yaitu wilayah yang mempunyai topografi dan iklim yang sama.
Wilayah
nodal adalah wilayah yang secara fungsional memiliki sifat saling
ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah dibelakangnya (hinterland).
Ketergantungan antara pusat dan daerah dapat dilihat dari faktor produksi,
penduduk, barang dan jasa, komunikasi, transportasi serta perhubungan di antara
keduanya. Wilayah nodal digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah
(ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi).
Batas wilayah nodal didasarkan pada pengaruh suatu pusat kegiatan ekonomi jika
digantikan oleh pusat kegiatan ekonomi lainya. Struktur dari wilayah nodal
dapat digambarkan berupa suatu sel hidup dengan adanya inti dan plasma yang
saling melengkapi. Intergrasi fungsional merupakan dasar hubungan
ketergantungan atas dasar kepentingan masyarakat di wilayah tersebut. Beberapa
contoh wilayah nodal seperti Jabodetabek (Jakarta sebagai inti dan Bogor,
Depok, Tagerang, Bekasi sebagai wilayah belakangnya).
Wilayah
perencanaan adalah wilayah yang batasannya didasarkan secara fungsional dalam
kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah perencanaan mengalami
perubahan-perubahan penting dalam pengembangannya dan memungkinkan
persoalan-persoalan perencanaan sebagai suatu kesatuan. Wilayah perencanaan
memiliki ciri-ciri yaitu masyarakat mempunyai kesadaran terhadap permasalahan
yang dihadapi daerah, memiliki kemampuan untuk merubah industri yang
dilaksanakan sesuai dengan tenaga kerja yang tersedia, menggunakan salah satu
model perencannaan, dan memiliki pusat pertumbuhan.
Wilayah
administrasi merupakan wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan
administrasi pemerintahan atau politik, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan,
desa atau kelurahan. Wilayah dalam pengertian administratif sering disebut juga
daerah. Wilayah administrasi berupa propinsi dan kabupaten atau kota merupakan
daerah otonom dan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengunaan wilayah administrasi disebabkan oleh dua faktor, yakni berdasarkan
satuan administrasi dalam melaksanakan kebijakan dan rencana pembangunan
wilayah, dan wilayah didasarkan pada satuan adminstrasi pemerintahan untuk
mempermudah dianalisis dalam pengumpulan data di berbagai bagian wilayah.
Pada
teori Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan)
harga. Hal ini disebabkan karena produsen tidak mampu memenuhi permintaan yang
karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga
jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang.
Hal ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk
melayani permintaan yang belum terpenuhi.
Dengan
makin banyaknya petani yang menawarkan produk yang sama, maka akan terjadi dua
keadaan :
1.
seluruh daerah akan terlayani,
2.
persaingan antar petani penjual akan semakin tajam dan saling berebut pembeli.
Losch
berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan
mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk
ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat
dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan
produksi yang bersangkutan.
Keseimbangan
yang dicapai dalam teori Losch berasumsi bahwa harga hanya dipengaruhi
oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila
salah seorang penjual menaikkan harga jualnya. Keputusan ini mengakibatkan
tidak hanya pasar menyempit karena konsumen tak mampu membeli tapi sebagian
pasar akan hilang dan direbut oleh penjual yang berdekatan. Untuk memperluas
jangkauan pasar dapat dilakukan dengan menjual barang yang berbeda jenis dari
yang sudah ditawarkan.
5.
Teori Kutub Pertumbuhan Perroux
Perkembangan
modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori
ekonomi regional Perancis yang dipelopori oleh François Perroux. Perroux (1955)
telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan (pole de croissance/ pole de
development/ growth pole).
Menurut
pendapatnya, petumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata
ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat
kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran
pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang
pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-perusahaan dan
industri-industri serta saling ketergantungannya, dan bukan mengenai pola
geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, pada
dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi
secara abstrak.
Perroux
menekankan pada dinamisme industri-industri dan aglomerasi industri-industri di
bagian-bagian tata ruang geografis. Konsep kutub pertumbuhan dapat digunakan
sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala pembangunan, proses
kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul dan berkembangnya industri-industri pendorong
serta peranan keuntungan-keuntungan aglomerasi. Secara esensial teori kutub
pertumbuhan dikategorisasikan sebagai teori dinamis. Proses pertubuhan
digambarkan sebagai keadaan yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan atau
keberhasilan kutb-kutub dinamis. Inti pokok dari pertumbuhan wilayah terletak
pada inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan atau
industri-industri berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar
perusahaan atau industri.
Dalam
mengembangkan teorinya, Perroux sangat terpengaruh dan mendasarkan pada teori
Schumpeter. Pada umumnya unit-unit ekonomi berskala besar dapat mendominasi
pengaruh-pengaruhnya terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Konsep Perroux
mempunyai pengertian adanya kaitan erat antara skala perusahaan, dominasi, dan
dorongan untuk melakukan inovasi. Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux, suatu
tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat
industri kunci (key industry/industries clef) yang memainkan
peranan sebagai pendorong yang dinamik karena industri tersebut mempunyai
kemampuan untuk melakukan inovasi.
Suatu
kutub pertumbuhan dapat merupakan pula suatu kompleks industri, yang
berkelompok di sekitar industri kunci. Industri kunci adalah industri yang
mempunyai dampak berantai ke depan (forward linkage) yang kuat.
Dengan contoh : industri baja di suatu daerah akan menimbulkan kekuatan
sentripetal, yaitu menarik kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan
pembuatan baja, baik pada penyediaan bahan mentah maupun pasar. Industri
tersebut juga menimbulkan kekuatan sentrifugal, yaitu rangsangan timbulnya
kegiatan baru yang tidak berhubungan langsung dengan industry baja. Jadi pada
dasarnya teori kutub pertumbuhan menerangkan akibat dari sekelompok
kesatuan-kesatuan yang memimpin atau karena polarisasi.
6.
Teori Kutub Pembangunan yang
Terlokalisasi (Boudeville)
Boudeville
(1961) telah menampilkan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan (localized poles of development).
Mengikuti pendapat Perroux, ia mengidentifikasikan kutub pertumbuhan wilayah
sebagai seperangkat industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu
daerah perkotaan dan mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi
melalui wilayah pengaruhnya (H. W. Richardon, 1972, 85). Ia mengemukaan aspek
kutub fungsional, tetapi dalam bukunya The
Problem of Regional Economic Planning, ia memberikan pula perhatian pada
aspek geografis. Teori Boudeville dapat dianggap sebagai pelengkap terhadap
teori-teori tempat sentral, yang diketengahkan oleh Crhristaller (1933) dan
kemudian diperluas oleh Losch (1940), atau dapat dikatakan bahwa teori
Boudeville telah menjembatani terhadap teori-teori spasial yang terdahulu, yang
menekuni persoalan-persoalan organisasi kegiatan-kegiatan manusia pada tata
ruang. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan mengenai aspek-aspek geografis dan
regional serta hubungan komplementer antara teori Boudeville dengan teori-teori
tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan.
Teori
Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya
kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis,
sedangkan teori lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-kutub
pembangunan fungsional berada atau dimana kutub-kutub tersebut dilokalisasikan
pada tata ruang geografis pada waktu yang akan datang. Jadi untuk menjelaskan
persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi.
Teori tempat sentral dapat dianggap sebagai teori global yang menjelaskan
mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari
adanya pembagian kerja secara spatial.
Teori
tempat sentral dan khususnya mengenai saling ketergantungan fungsional yang diformulasikan
oleh Christaller tanpa memperhitungkan adanya hambatan-hambatan
geografis-spasial, adalah merupakan titik permulaan untuk menganalisis lebih
lanjut mengenai impak pembangunan pada suatu pusat tertentu atau pada
pusat-pusat lainnya dan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem
pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota. Ditinjau dari segi lain
terdapat kekurangan-kekurangan yaitu tempat sentral tidak menjelaskan
gejala-gejala pembangunan. Teori tempat sentral dikategorisasikan sebagai teori
statis, yang hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu dan tidak
membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan
teori kutub pertumbuhan yang telah dimodifikasikan dan dapat digunakan untuk
menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.
Untuk
memahami komplementaris hubungan-hubungan antara teori tempat sentral dan teori
Boudeville dijumpai beberapa kesulitan. Teori tempat sentral (Christaller dan
Losch) bersifat deduktif dan merupakan teori keseimbangan statis yang berkenaan
dengan prinsip-prinsip pada tingkat perusahaan dan hubungan-hubungan antar
perusahaan. Sedangkan teori Boudeville adalah berdasarkan teori pembangunan
dinamis yang menggunakan cara induktif dan berkenan dengan tingkat
industri-industri dan besaran makro. Teori tempat sentral hanya menjelaskan
mengenai pengelompokan pada tata ruang geografis, di lain pihak teori
Boudeville berusaha menjelaskan secara simultan mengenai tata ruang fungsional
(secara abstrak) dan tata ruang geografis (secara rill), yaitu menjelaskan
perubahan-perubahan pada tata ruang fungsional ke dalam tata ruang geografis.
Sedangkan teori kutub pertumbuhan Perroux merupakan alat yang ampuh untuk
menjelaskan pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri
dan tata ruang yang terorganisasikan, akan tetapi teori ini kurang ampuh bila
diterapkan untuk pembahasan mengenai pengelompokan pada tata ruang geografis,
teori ini lebih berkenan dengan pembahasan mengenai perubahan-perubahan
struktural dari pada menganalisis aspek-aspek pembangunan.
Pengelompokan
pada tata ruang geografis telah diperlihatkan dalam model tempat sentral.
Selanjutnya oleh Boudeville pengelompokan ini diterapkan pada pembangunan dalam
arti fungsional, sedangkan difusi (penghamburan) pembangunan pada tata ruang
geografis diterapkan pada pembangunan dalam tata ruang melalui tipe
transformasi.
Untuk
menjelaskan difusi dorongan-dorongan pembangunan diantara kutub-kutub yang
terjadi dalam kerangkan dasar dinamis diperlakukan pendekatan teoretik baru.
Dalam hubungan ini hipotesis Hirscham (dampak tetesan ke bawah dan dampak
polarisasi atau trickling down effect and
polarization effect) dan Myrdal (dampak penyabaran dan dampak pengurasan
atau spread effect and backwash effect).
C. Myrdal (1976, 56-65) tentang peristiwa-peristiwa geografis dan penyebaran
pertumbuhan ekonomi memberikan sumbangan yang bermanfaat, karena keduanya
berusaha menggabungkan sejauh mungkin pengaruh penyebaran pertumbuhan dilihat
dari aspek ekonomi. Teori Hirschamn dan teori Myrdal menelusuri pula dimensi
geografis walaupun hanya secara tidak langsung.
Teori
Boudeville merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya mengenai
pengelompokan geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai
peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan di antara
pengelompokan-pengelompokan yang bersangkutan.
Dalam
aplikasi teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan
regional, nampaknya pendapat Boudenville dan konsep Perroux tidak searah.
Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan
karakteristik-karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut Boudeville
menekankan pada tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang
geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut Boudeville menekankan
pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian
ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini
erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan
sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
Implikasi
penting dari hubungan teori antara teori Boudeville dan teori tempat sentral
dalam konteks perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh banyak
negara dapat dikemukaan dua persoalaan yang relevan, yaitu:
(1) Bagaimana
merintis proses pembangunan wilayah-wilayah yang terbelakan secara terus
menerus, dan
(2) bagaimana
mengarahkan proses urbanisasi sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi
pusat-pusat kota secara geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya
(A. Kuklinski (ed), 1968, 39-40)
Persoalan
pertama merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh pembangunan
dari instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit di wilayah terbelakang
tersebut ke tempat-tempat tertentu disekitarnya. Unit-unit inti yang dimaksud
merupakan merupakan mata rantai dalam tata ruang fungsional dan tata ruang
geografis, yang menunjang masuknya inovasi dari luar dan perubahan-perubahan
pembangunan melalui (dampak berantai ke belakang dan dampak berantai ke depan
atau backward linkage and forward linkage
sehingga difusi internal dapat dipercepat.
Persoalan kedua pada
dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau cocok untuk pendirian
perusahaan-perusahaan industri dan jasa. Lokasi-lokasi tersebut merupakan
bagian-bagian dari kutub-kutub pembangunan. Pengaruh-pengaruhnya
didistribusikan pada sistem pusat-pusat dalam tata ruang geografis.
Peristiwa-peristiwa geografis semacam ini memberikan sumbangan pada usaha-usaha
untuk memperbaiki susunan geografis secara efisien.
7.
Teori Masukan Transport
(Substitusi) dari Walter Isard
Walter Isard (1956)
mengembangkan logika teori dasar Weber dengan menempatkan teori tersebut dalam
konteks analisis substitusi sehingga menjadi alat peramal yang tangguh (robust) namun sederhana. Seperti Weber,
Isard menyadari bahwa biaya transpor merupakan determinan utama untuk
menentukan lokasi suatu industri, akan tetapi bukan satu-satunya. Ia membahas
gejala aglomerasi terutama di kota-kota besar. Ia adalah salah satu ahli
ekonomi yang menaruh perhatian besar pada masalah perkotaan, telah
mengetengahkan pentingnya penghematan urbanisasi, yang merupakan salah satu
manfaat dari aglomerasi.
Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat
terjadi di titik-titik sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku
dengan pasar, jika bahan baku setempat adalah murni. Sehingga terdapat dua variabel yaitu jarak
dari pasar dan jarak sumber bahan baku. Hubungan kedua variabel tersebut dapat
diplotkan dalam bentuk grafik di mana garis yang menghubungkan antara sumber
bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik kombinasi antara bahan
baku dan pasar yang bersifat substitusi (Gambar 3.6). apabila ditambah lagi
satu varriabel baru yaitu penggunaan bahan baku kedua ke dalam input produksi,
maka terdapat tiga set hubungan substitusi.
Alasan mengapa istilah satu variabel dibuat tetap, hanyalah
untuk mempermudah pembuatan grafik dua dimensi. Penyelesaian masalah dalam
penentuan lokasi dapat dilihat secara bertahap melalui pasangan-pasangan dua
sudut dari segitiga tersebut. Titik
biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan titik di mana jarak tempuh
total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga jarak
parsial dapat digunakan untuk menentukan beberapa substitusi lokasi yang paling
rendah.
Sumbangan pemikiran Isard lainnya adalah ia telah memasukkan
analisis kompleks industri (industrial
complex). Suatu industri kompleks didefinisikan sebagai suatu perangkat
kegiatan-kegiatan pada suatu lokasi spesifik yang mempunyai saling
keterhubungan secara teknis dan produksi. Industri-industri dapat bekrja secara
optimal bila berkelompok bersama-sama secara tata ruang daripada mereka melyani
sendiri perdagangan yang meliputi daerah yang luas (Richardson, 1972).
Meskipun suatu kompleks industri tidak mempunyai suatu
industri pendorong seperti dalama teori kutub pertumbuhan, akan tetapi kompleks
industri memberikan perhatian sama pentingnya pada keuntungan-keuntungan
aglomerasi atau konsentrasi tersebut akan menimbulkan keuntungan-keuntungan,
yaitu penghematan skala, penghematan lokalisasi dan penghematan
aglomerasi.
Penghematan skala, secara teknis berkenaan dengan struktur
masukan suatu perusahaan atau industri. Produksi dengan skala besar berarti
dapat membagi beban biaya-biaya tetap pada unit-unit yang terdapat dalam sistem
produksi, dengan demikian unit biaya produksi dapat ditekan lebih rendah,
sehingga perusahaan tersebut mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
lainnya. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang
melayani pasar yang luas atau penduduk dalam jumlah besar.
GT pada
c GT pada c GT pada c
Keterangan : GT = garis
transformasi c = pusat konsumsi
M = sumber
bahan mentah W = berat
Gambar 3.6. Garis-garis Transformasi (GT) (Adisasmita, 2008)
M M M
(i)
(i)
(i)
tm = tc C tm < tc C tm > tn C
(iii)
Skala biaya transpor pro-
(iii) Skala biaya trans-
(iii) Skala biaya transpor
porsional terhadap jarak por proporsional proporsional terhadap
terhadap jarak
jarak
Gambar 3.7. Garis-garis Rasio Harga (GRH) (Adisasmita, 2008)
Dengan bantuan garis transformasi ditunjukkan bagaimana
dengan perubahan lokasi dapat disubstitusikan masukan transpor suatu barang
(bahan mentah) dengan masukan transpor lainnya (produk akhir). Rasio antara
berat bahan mentah dan berat produk akhir mungkin sama dengan 1, lebih besar
dari 1, atau lebih kecil dari 1 (lihat Gambar 3.6). Untuk mengetahui kedudukan
keseimbangan spasial diperlukan suatu perangkat garis-garis rasio harga, yang
mencerminkan harga-harga relatif dari dua perangkat masukan transport. Dalam
hal ini dibandingkan biaya-biaya transport per ton-kilometer untuk bahan mentah
dan produk akhir (sama dengan 1 atau lebih kecil 1), selain daripada itu perlu
diketahui pula apakah biaya transport proporsional atau tidak dengan jarak
(lihat Gambar 3.7.). Selanjutnya dengan bantuan garis-garis rasio harga
tersebut dapat diketahui titik keseimbangan lokasi suatu pabrik, apakah
mendekati sumber bahan mentah atau pasar.
8. Polarisasi dan Tricking Down menurut Myrdal,
Hirscman
Hirscman adalah seorang penganjur teori pertumbuhan
tidak seimbang. Secara geografis, pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang.
Dalam proses pertumbuhan tidak seimbang selalu dapat dilihat bahwa kemajuan
disuatu tempat (titik) menimbulkan tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan
dorongan-dorongan kearah perkembangan pada tempat-tempat (titik-titik)
berikutnya. Hirscman (1958), menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi berbeda
tingkat intensitasnya pada tempat yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi diutamakan
pada titik originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Ia
menggunakan istilah Titik Pertumbuhan
(Growing Point) atau Pusat Pertumbuhan (Growing Centre).
Di sutau negara terdapat beberapa titik pertumbuhan,
dimana industry berkelompok ditempat itu, karena diperoleh beberapa manfaat
dalam bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan
investasi, lapangan kerja dan upah buruh relatif tinggi lebih banyak terdapat
di pusat- pusat pertumbuhan dari pada daerah belakang. Antara pusat dan daerah
belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh
yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) akan
dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang trampil dan pihak lain akan mengurangi
pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat
koplementaritas antaradua tempat tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran
pembangunan kedaerah-daerah belakang (trikling down) dan sebaliknya jika
komplementaritas lemah akan terjadi pengaruh polarisasi (Keban, 1995). Jika
pengeruh polarisasi lebih kuat dari pengeruh penyebaran pembangunan maka akan
timbul masyarakat dualistik, yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah
perkotaan modern juga memiliki daerah perdesaan terbelakang (Hammand,1985, Indra Catri,1993).
Walaupun terlihat suatu kecenderungan yang suram namun Hirschman optimis dan
percay bahwa pengaruh trikling-down akan mengatasi pengaruh polarisasi.
Misalnya bila daerah perkotaan berspesialisasi pada industri dan daerah
perdesaan berspesialisasi pada produksi primer, maka meluasnya permintaan
daerah perkotaan harus mendorong perkembangan daerah perdesaan, tetapi apa yang
terjadi tidak seperti yang diharapkan. Pada khususnya ada kemungkinan besar
bahwa elastisitas penawaran jangka pendek di daerah perdesaan adalah sedimikian
rendah sehingga dasar pertukaran akan berubah merugikan daerah perkotaan. Dalam
jangka panjang penghematan-penghematan ekstrnal dan tersedianya
komplementaritas di pusat-pusat akan menjamin penyebaran pembangunan ke
daerah-daerah disekitarnya.
Pada pihak lain, berdasarkan konseptual yang serupa
mengenai struktur titik-titik pertumbuhan dan daerah-daerah belakang, Myrdal
(1957) menggunakan istilah Backwash
effect dan spread effect yang artinya persis serupa dengan
polarisasi dan pengaruh trikling
down. Namun demikian, dalam penekanan pembahasan dan
kesimpulan-kesimpulan terdapat perbedaan yang cukup besar. Analisa Myrdal 5
memberikan kesan pesimistis, ia berpendapat bahwa polarisasi muncul lebih kuat dari pada penyebaran pembangunan, permintaan faktor-faktor
produksi akan menumpuk di daerah- daerah perkotaan yang memberikan manfaat
kepadanya, dan sebaliknya di daerah perdesaan yang tidak menguntungkan akan
menipis.
Pesimisme tersebut dapat dimaklumi karena Myrdal
tidak memaklumi bahwa timbulnya titik pertumbuhan adalah suatu hal yang tidak
terelakkan dan merupakan syarat bagi perkembangan selanjutnya dimana-mana.
Pusat pemikiran Myrdal pada kausasi komulatif menyebabkan ia tidak dapat
melihat dengan titik balik apabila perkembangan kearah polarisasi di suatu
wilayah sudah berlangsung untuk beberapa waktu. Kausasi sirkuler komulatif
selalu meghasilkan penyebaran pembangunan yang lemah dan tidak kemerataan, atau dapat dikatakan bahwa mobilitas akan
memperbesar ketimpangan pendapatan
dan migrasi akan memperbesar
ketimpangan regional.
Berdasarkan pada perbedaan pandangan diatas, maka
kebijaksanaan perspektif yang dianjurkan oleh Hirschman dan Myrdal berbeda
pula. Hirschman menyarankan agar membentuk lebih
banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh
penyebaran pembengunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan unmtuk
melemahkan backwash effets dan meperkuat sread effeetc agar proses
kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil
ketimpangan regional (Murtomo, 1988, Indra Catri, 1993, Keban, 1995).
Gunnar Myrdal (1957) dan Aschman (1958) dalam Keban
(1995), menyerang pengertian equilibrium dalam teori ekonomi dan mengemukakan
ide-ide dasar tentang polarisasi pembangunan. Menurut pandangan Myrdal,
daerah-daerah inti dari perekonomian adalah magnit penguat dari kemajuan.
Myrdal mengemukakan bahwa setel;ah pertumbuhan dimulai pada lokasi yang dipilih
pada perekonomian bebas, arus masuk tenaga kerja, ketrampilan, modal dan
komoditi berkembang secara spontan untuk mendukungnya. Tetapi arus ini meliputi
efek backwash, ketidak samaan antara daerah-daerah yang berkembang dengan
daerah-daerah lain.
Daerah-daerah yang sedang tumbuh mempengruhi
daerah-daerah lain melalui dua kekuatan yang berlawanan , menurut model Myrdal
disebut Effect backwash dan efek penyebaran (Spread effect dan backwash
effect). Efek penyebaran menunjukkan dampak yang menguntungkan dari
daerah-daerah yang makmur terhadap daerahdaerah yang kurang makmur, hal ini
meliputi : meningkatnya permintaan komoditiprimer, investasi dan difusi ide
serta tehnologi. Dalam banyak negara-negara terbelakang, efek penyebaran
terbatas pada daerah daerah disekitar pusat-pusat herarkhi perkotaan (Murtomo,
1988, Keban, 1995).
Hirschman membantah bahwa memilih dan memusatkan
aktivitasnya pada titiktitik pertumbuhan adalah alami bagi para pengusaha.
Pembangunan lama kelamaan tidak berimbang, pertumbuhan daerah yang sedang
berkembang membatasi kapasitas 6 pertumbuhan dimana mana. Utara (North) menarik
tenaga trampil dan tabungan dari selatan (south). Elastisitas permintaan
income lebih besar untuk barang-barang buatan north, dan oleh karena itu syarat
syarat perdagangn melawan produsen south akan komoditi primernya (Jhingan,M.L.1993,
Arsyad, 1988).
Ide pokok dari model Hirschman adalah bahwa efek
polaritas disebabkan oleh “effect trickling down”, ekuivalen dengan efek
penyebaran dari Myrdal. Effect trickling down meliputi tujuan komoditi
North yang diproduksi di South dan gerakan modal keselatan, disamping North
dapat menarik tenaga selatan yang cukup untuk menjamin meningkatnya
produktivitas tenaga kerja marjinal dan tingkat konsomsi perkapirta South.
Hischman bersikeras bahwa effect trickling down hanya bisa terjadi bila di North
membutuhkan South untuk ekspansinya sendiri.
9.
Teori
Daerah/Wilayah Inti
John
Friedmann menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta
persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general. Friedmann
telah menampilkan teori daerah inti dalam artikel yang berjudul "A
General Theory of Polarized Development", dalam Hansen N.M (1972). Di sekitar daerah inti
terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery regions. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut
pula daerah-daerah pedalaman
atau daerah-daerah di sekitarnya.
Pengembangan
dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinyu tetapi komulatif yang berasal pada sejumlah kecil pusat-pusat
perubahan, yang terletak
pada titik-titik interaksi yang mempunyai potensi interaksi tertinggi.
Pembangunan
inovatif cenderung menyebar ke bawah dan keluar dari pusat-pusat tersebut ke daarah-daerah yang mempunyai
potensi interaksi yang lebih rendah (Hansen, N.M :1972).
Pusat-pusat
besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megalopolis, dikategorisasikan sebagai
daerah-daerah inti. Daerah-daerah yang relatif statis sisanya merupakan subsistem-subsistem yang
kemajuan pembangunannya ditentukan oleh
lembaga-lembaga di daerah inti. Dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan
ketergantungan yang substansial. Daerah inti dan wilayah
pinggiran bersama-sama membentuk sistem spasial yang lengkap.
Proses
daerah-daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah-daerah pinggiran dilaksanakan melalui
pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan
daerah inti. Terdiri dari pengaruh dominasi (melemahnya perekonomian di
daerah-daerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya sumberdaya-sumberdaya alam, manusia, dan
modal ke wilayah inti), pengaruh informasi (peningkatan dalam interaksi potensial untuk menunjang
pembangunan inovatif), pengaruh psikologis (penciptaan
kondisi yang menggairahkan untuk melanjutkan kegiatan kegiatan inovatif secara lebih nyata), pengaruh
antar rantai (kecenderungan inovasi-inovasi untuk
menghasilkan inovasi lainnya), dan pengaruh produksi menciptakan struktur balas jasa yang menarik untuk
kegiatankegiatan inovatif,
(Hasen, N.M ; 1972).
Pada
umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri,
ibukota pemerintahan,dan sebagainya.
Sehubungan
dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann mengemukakan lima buah preposisi
utama, yaitu sebagai berikut (Hasen, N.M ; 1972) :
1.
Daerah
inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah di sekitarnya melalui sistem suplai, pasar, dan
daerah administrasi.
2.
Daerah
inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi kedaerah-daerah di
sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.
3.
Sampai
pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh
positif dalam proses pembangunan sistem spasial, akan tetapi mungkin pula
mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan wilayah inti kepada
daerah-daerah di sekitarnya tidakberhasil ditingkatkan, sehingga keterhubungan
dan ketergantungan daerahdaerah di
sekitarnya terhadap daerah inti menjadi berkurang.
4.
Dalam
suatu sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-masing
meliputi karateristikkarateristiknya secara terperinci dan prestasinya.
5.
Kemungkinan
inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah sistem spasial dengan cara mengembangkan pertukaran
informasi.
Meskipun
hubungan daerah inti - daerah pinggiran sebagai kerangka dasar kebijakan dan
perencanaan pembangunan regional dianggap kasar dan sederhana, akan tetapi dapat digunakan untuk
menjelaskan keterhubungan dan ketergantungan
antara pusat dan daerah-daerah sekitarnya. Kemudian Friedmann dikembangkan klasifikasi daerah inti dan
daerah-daerah pinggiran menjadi daerah metropolitan (metropolitan
region), poros pembangunan (development
axes), daerah perbatasan (frontier
region), dan daerah tertekan (depressed
region).
Secara
esensial hubungan antara daerah metropolitan dengan daerah daerah perbatasan tidak berbeda dengan hubungan antara daerah inti dengan daerah-daerah pinggiran. Poros pembangunan
merupakan perluasan dari daerah metropolitan
dan sebagai bentuk embrio untuk berkembang menjadi megapolis.
Wilayah
perbatasan termasuk dalam kategori daerah pinggiran, dan di dalamnya terdapat pusat-pusat kecil yang mempunyai
potensi berkembang menjadi pusat-pusat yang lebih besar pada masa depan.
Dari
klasifikasi di atas dapat diperoleh pelajaran yang bermanfaat, yakni suatu kebijaksanaan nasional
pengembangan wilayah harus menyadari bahwa masalah-masalah dan metode pembangunan adalah berbeda-beda
untuk setiap wilayah. Selain itu
perubahan-perubahan ekonomi dan pembangunan pada umumnya yang tejadi di seluruh jenis wilayah mempunyai ketergantungan
satu sama lainnya.
Seperti
halnya dengan teori kutub pertumbuhan (Perroux, 1964), Friedmann memberikan perhatian penting pada daerah
inti sebagai pusat pelayanan
dan pusat pengembangan. Teori-teori tersebut tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum industri dan tidak
pula menentukan jenis investasi apa yang sebaiknya ditetapkan di pusat-pusat urban. Oleh karena itu
mereka diklasifikasikan sebagai tanpa tata ruang.
Walaupun demikian disadari bahwa pusat-pusat urban mempunyai peranan yang dominan yaitu memberikan
pancaran pengembangan ke wilayah-wilayah di
sekitarnya. Daerah inti mempunyai daya pengikat yang kuat untuk mewujudkan integrasi spasial sistem sosial,
ekonomi, dan budaya suatu bangsa.Demikian kuat
dominasi pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak negatif yaitu munculnya susunan-susunan
ketergantungan dualistik sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mendalam bagi pembangunan
nasional.Beberapa arah perkembangannya yang penting dapat dikemukakan, yaitu
hiper urbanisasi, pembangunan modern hanya terpusat
di beberapa kota saja, sedangkan daerah-daerah di luarnya boleh dikatakan terpencil dari
perubahan-perubahan sosial dan
ekonomi, pengangguran dan kerja di bawah daya (underemployment), perbedaan pendapatan dan kemiskinan,
kekurangan makanan yang terus menerus, hidup kebendaan penduduk daerah pertanian tambah buruk, dan
ketergantungan pada dunia luar. (Friedmann dan Douglass,
1976).
Memperlihatkan
kelemahan-kelemahan di atas, maka Friedmann menganjurkan pembentukan agropolis-agropolis atau kota-kota di
ladang. Hal ini berarti
tidak mendorong perpindahan penduduk desa ke kota-kota besar, tetapi mendorong mereka untuk tetap tinggal di
tempat mereka semula. Dengan pembangunan
agropolitan distrik, pertentangan abadi antara kota dan desa dapat diredakan terutama di negara-negara
berkembang, (Friedman dan Douglass, 1976).
Salah
satu dimensi perencanaan regional dalam bidang perkotaan ialah bagaimana menggerakkan pertumbuhan kota-kota
kecil agar dapat mencapai pertumbuhan
spontan yang mampu menyangga sendiri pembangunan kota-kota kecil (spontaneous
self-sustained growth). Dengan demikian pembangunan agropolis-agropolis itu diusahakan tersusun
dalam suatu jaringan kota secara regional yang disertai dengan pembangunan dan perbaikan fasilitas
perhubungan antar kawasan agropolitan ke kota-kota besar.
Menetapkan kota agropolis menjadi pusat jasa-jasa pelayanan tertentu dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar
dari pada yang terdapat dalam suatu kawasan (Fu Chen Lo, 1976).
Menurut
Friedmann, kunci bagi pembangunan kawasan agropolitan yang berhasil ialah
memperlakukan tiap-tiap kawasan sebagai satuan tunggal dan terintegrasi. Kawasan agropolitan merupakan
suatu konsep yang tepat untuk membuat
suatu kebijakan pembangunan tata ruang melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan.
(Friedmann dan Douglass, 1976).
Friedmann
telah mengembangkan teori kutub pertumbuhan dalam sistem pembangunan yang diselenggarakan berdasarkan atas
desentraslisasi yang terkonsentrasikan
(concentrated decentralization) atau
sistem dekonsentrasi (FuChen Lo, 1976). Pembangunan di Indonesia yang
dilaksanakan selama ini mengikuti
sistem desentralisasi, di mana peranan Pemerintah Pusat sangat
besar.Ciri-cirinya yang menonjol antara lain adalah :
- Pola pembangunan nasional atau sering disebut pula sebagai pembangunan sektoral, prioritasnya ditentukan berdasarkan kebijakan nasional.
- Anggaran pembangunan disediakan oleh pemerintah pusat dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan
- Pengelolaan proyek-proyek pembangunan dipertanggungjawabkan kepada perangkat departemen di pusat atau perangkat pusat di daerah (jika pelaksanaannya didelegasikan kepada perangkat pusat di daerah).
Ciri-ciri
kawasan agropolitan seperti yang dianjurkan Friedmann mirip dengan kota-kota
(Ibukota-Ibukota Kabupaten) yang berpenduduk 50.000 orang ke bawah. Kebijakan
perspektif yang dianjurkan oleh Friedman (1975) adalah :
- Menganjurkan pembentukan lebih banyak titik-titik pertumbuhan ;
- Merangkai pusat-pusat agropolitan menjadi suatu jaringan pusat yang serasi secara regional.
Teori
ini menjadi teori menarik untuk diadopsi sebagai salah satu teori tentang pengembangan wilayah dengan
adanya daerah-daerah inti yang menarik
banyak hal dari daerah-daerah sekitarnya termasuk sumberdaya manusia yang kemudian disebut dengan komuter karena
berdomisili di kota sekitar namun bekerja di kota inti .
10.
Teori
Simpul Jasa Distribusi
Poernomosidi Hadjisaroso (2011) mengemukakan
bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan modal, yang
bertumpu pada pengembangan SDM dan SDA-nya. Pengembangan kedua jenis sumber
daya tersebut berlangsung sedemikian rupa sehingga menimbulkan arus barang.
Arus barang dianggapnya sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol.
Poernomosidi
Hadjisarosa menjelaskan Teori Simpul Jasa Distribusi yang telah dikembangkan
dalam berbagai artikel dan Makala, misalnya Konsepsi Dasar Penembangan
Wilayah di Indonesia ( Makala di sajikan dalam symposium di
ITB,tanggal 21 Agustus 1980, dan dalam pertemuan antara ilmuan lembaga ilmu
pengetahuan Indonesia di Jakarta, Tanggal 24 Juni 1981 ). Poernomosidi
menjelaskan konsepnya sebagai berikut : Berkembangnya Wilayah ditandai oleh
terjadinya Pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlangsungnya berbagai
kegiatan usaha , baik sector Pemerintah maupun sector Swasta, yang pada
dasarnya bertujuan untuk menigkatkan pemenuhan kebutuhan. Berlangsungnya
kegiatan usaha tersebut ditunjang dari segi modal.
Dibandingkan dengan
teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan ternyata teori “ Simpul Jasa
Distribusi “ lebih akomodatif. Poernomosidi membantah Teori tempat sentral yang
beranggapan bahwa seluruh wilayah terbagi habis dan seluruh bagian Wilayah
tidak ada yang terlewatkan oleh jasa pelayanan. Dalam hal ini Poernomosidi
membedakan wilayah Adminnistratif dengan wilayah pengembangan. Secara
administratif, seluruh wilayah terbagi habis tetapi tidak berarti seluruh
Wilayah Administrasi otomatis tercakup dalam Wilayah pengembangan, dalam
kenyataannya bebrapa bagian Wilayah administrasi tidak terjangkau oleh
pelayanan jasa distribusi disebabkan hambatan – hambatan geografis atau karena
belum tersedianya Prasarana – prasarana perhubungan kea tau dari bagian –
bagiian Wilayah tersebut.
Arus barang didukung langsung oleh jasa
perdagangan, jasa pengangkutan serta distribusi. Bahan mentah diangkut dari
daerah penghasil ke lokasi pabrik dan selanjutnya barang hasil diangkut dari
produsen ke konsumen. Jadi, jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik.
Gambar Struktur Dasar Pengembangan Wilayah Poernomosidi
Kriteria untuk menyatakan tingkat pertumbuhan
di daerah adalah tingkat kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan
kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan hidup maupun kebutuhan melakukan
kegiatan usaha. Adapun bentuk kemudahannya berupa kemudahan-kemudahan jasa
distribusi. Sedangkan kota-kota yang merupakan pusat kegiatan usaha distribusi,
disebut “simpul jasa distribusi” atau disingkat dengan simpul.
Kota-kota sebagai “simpul jasa distribusi”
besar berinteraksi dengan simpul kecil dan daerah belakang dalam wilayah
pengaruhnya. Tingkat interaksi dilihat atas dasar tingkat kepadatan arus
barang. Semakin kuat karakter simpul berarti jangkauan wilayah pengaruhnya
semakin luas dan jauh.
Hirarki setiap simpul ditentukan oleh
kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul berdasarkan mekanisme arus
distribusi barang. Fungsi primer simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa
distribusi bagi wilayah pengembangan (eksternal), sementara fungsi sekunder
adalah bagi kehidupan masyarakat di dalam simpul (internal). Antara
simpul-simpul dari tingkatan orde distribusi sama maupun berbeda terdapat
keterhubungan dan ketergantungan.
Konsep ini lebih kontekstual di Indonesia
karena menggunakan pendekatan realistic, dimana analisisnya bertitik tolak dari
kehidupan masyarakat pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Hal
itu daoat dilihat dalam pengembangan aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber
daya alam suatu struktur ruang yang menimbulkan pertumbuhan modal untuk tahapan
pembangunan selanjutnya.
Konsep simpul jasa distribusi berupaya
memformulasikan struktur pengembangan wilayah secara nasional melalui
penyebaran orientasi, tingkat perkembangan serta interaksi antara satuan-satuan
wilayah pengembangan melalui simpul-simpulnya.
Pada teori kutub
pertumbuhan yang diungkapkan oleh Perroux, Poernomosidi mencoba membandingkan
dengan teorinya di mana pada teori kutub pertumbuhan tidak menjelaskan
pertumbuhan secara Nasional. Sedangkan teori simpul yang bertitik tolak pada
pemahaman struktur wilayah tingkat Nasional ( SPWTN ) telah mengungkapkan
gambaran tentang penyebaran, orientasi dan tingkat perkembangan masing – masing
satuan Wilayah Pengembangan ( SWP ) serta hubungan ketergantungan antar (SWP )
melalui simpul – simpulnya masing – masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Adisasmita,
R. 2008. Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Boudeville,
J.R. 1996. Problems of Regional Economics
Planning. Edinburgh University Press. Edinburg.
Christaller,
W. 1966. Central Places in South Germany,
terjemahan Baskin, W.W. Wnglewoods Cliffs, N.J. Prentice Hall, Inc.
Hirschaman,
A.O. 1958. The Strategy of Economic
Development. Yale University. New Heaven.
Kuklinski,
A. (ed). 1972. Growth Poles and Growth
Centres in Regional Planning. The Hague. Mouton.
Myrdal,
G. 1976. Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin,
terjemahan Paul Sitoang. Gramedia. Jakarta.
Perroux,
F. 1964. Economic Space: Theory and
Applications, dalam Friedmann J. And Alonso, W (ed). Regional Development and Planning: A Reader, Cambridge, Massachusetts,
The M.I.T. Press
Richardson,
H.W. 1972. Regional Economics: Location
Theory, Urban Structure and Regional
Change. Weidenfeld and Nicolson. London.
Terima kasih Mas Triyanto. Saya sangat terbantu untuk membuat rumusan masalah pada tugas matkul komunikasi pembangunan.
BalasHapuskeren gan
BalasHapus