Jumat, 16 Mei 2014

Teori Perencanaan wilayah



1.      Teori Sewa Lahan (J.H Von Thunen)
Von Thunen melalui teorinya mrnciptakan contoh cara berfikir efektif yang di dasarkan atas penelitian statistikm yang mulai dengan model sederhana selangkah demi selangkah memasukan komlikasi atau unsur baru sehingga semakin mendekati konkret. Ia mengembangan suatu teori bahwa sewa tanah dan teori produktivitas marginal yang diterapkan dalam upah dan bunga.
            Von Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi pertanian berhubungan dengan pola tata guna lahan di wilayah sekitar pusat pasar atau kota. Ia mengeluarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :
1.      Pusat pasar atau kota harus berada di lokasi paling pusat suatu wilayah yang bersifat homogeny secara geografis kota itu sendiri
2.      Berbanding lurus antara biaya transportasi dengan jarak
3.      Setiap petani yang berada di lokasi sekitar pusat pasar atau kota akan menjual kelebihan hasil pertaniannya ke kota, dan biaya transportasi ditanggung pihak penjual.
4.      Petani cenderung akan memilih jenis tanaman yang dapat menghasilkan manfaat dan profit maksimal. Jenis tanaman yang ditanam rata-rata mengikuti permintaan pasar.
5.      Biaya transportasi propodional terhadap jarak dari kota
6.      Produksi pertanian mempunyai skala hasil yang tetap.
Dari asumsi di atas mendesak para petani berani menyewa lahan yang dekat dengan pusat pasar atau kota, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hasil pertaniannya maksimal. Tentunya mereka juga harus mengorbankan nomial cukup besar untuk menyewa lahan. Karena semakin dekat dengan suatu lahan dengan pusat pasar atau kota, semakin besar harga sewa lahannya. Petani yang berperan sebagai pelaku produksi memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menyewa lahan. Makin tinggi kemampua pelaku produksi untuk membayar sewa lahan, makin besar peluang untuk melakukan kegiatan di lokasi dekat pusat pasae atau kota. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan lokasi mempengaruhi nilai harga lokasi tersebut sesuai dengan tata guna lahannya.
2.      Teori Aglomerasi Weber (Teori Lokasi Industri)
Teori Lokasi Alfred Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1929 oleh C.J. Friedrich dengan judul Alfred Weber’s Theory of Location of Industries. Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Menurut Evers (1985), Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum oleh karena itu Asumsi teori weber adalah :
1.      Masukan atau lokasi bahan baku terletak pada lokasi yang tetap
2.      Pasar juga terletak pada lokasi yang tetap
3.      Para produsen menghadapi persaingan murni dalam membeli semua masukan dan menjual keluaran-keluaran.
4.      Terdapat jaringan transport yang sama. Dimana pada jaringan ini memungkinkan masukan dan keluaran dipindahkan di segala arah dengan tarip tetap per satuan jarak.
Menurut Weber, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu :
a. Biaya transportasi            merupakan faktor regional yang bersifat umum  
b. Upah tenaga kerja
c. Dampak aglomerasi dan deaglomerasi           bersifat lokal dan khusus.
Weber berbasis kepada beberapa asumsi utama, antara lain:
1)      Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu saja (Given),
2)      Situasi dan ukuran tempat konsumsi adalah tertentu juga, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna,
3)      Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak (Immobile).
Selain itu, Weber juga mengelompokkan industri menjadi dua, yaitu:
1.      Industri yang berjenis weight losing (industri yang hasil produksinya memiliki berat yang lebih ringan daripada bahan bakunya, misalnya industri kertas). Industri ini memiliki indeks material < / > 1). Dengan indeks material > 1, maka biaya transportasi bahan baku menuju pabrik akan lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi produk jadi menuju pasaran (market). Oleh karena itu, lokasi pabrik seharusnya diletakkan di dekat sumber bahan baku (resources oriented).
2.      Industri yang berjenis weight gaining, lokasi industri ini lebih baik diletakkan di dekat pasar. Penggunaan kedua prinsip untuk menentukan lokasi industri di atas akan mengalami kesulitan apabila berat benda yang masuk ke dalam perhitungan tidak jauh berbeda.
Pada intinya, lokasi akan optimal apabila pabrik berada di sentral, karena biaya transportasi dari manapun akan rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu transportasi bahan mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi hasil produksi yang menuju ke pasaran.
Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus industri. Aglomerasi primer di mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan perusahaan lama, dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada perusahaan yang lama. Sedangkan Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk memilih lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain.
Lokasi optimal dapat dicapai biasanya dengan kecenderungan memilih lokasi yang memberikan biaya terkecil (least-cost theory), dimana biaya terkecil dapat dicapai dengan cara mekanisme perhitungan rasio hasil-bahan / indeks bahan atau yang sering disebut dengan material index ( MI ). Indeks bahan baku bersifat ubiquitous yang artinya ada di mana-mana.
MI = berat bahan baku lokal/berat produk
Dimana nilai MI > 1, berarti berat bahan mentah > dari berat produk, lokasi berorientasi bahan mentah, MI < 1, berat bahan mentah < dari berat produk, berarti lokasi akan berorientasi ke pasar akhir, MI = 1, berarti berat bahan mentah = berat produk, lokasi dapat dimana-mana. Weber mengembangkan konsep tiga arah yang dikenal dengan teori segitiga lokasi (locational triangle), dirumuskan secara matematis dengan sebuah persamaan:
T(k) = q [ (     ) + ((     )  + m  ]
Ket:
T(k)  = biaya angkut minimum , M = sumber bahan baku
C      = pasar atau K = lokasi optimal
q       = output (hasil produksi) , k = jarak dari sumber bahan baku dan pasar
a       = koefisien input , n = biaya angkut bahan baku
m      = biaya angkut hasil produksi
Berdasarkan pertimbangan segitiga lokasi di atas, dihasilkan tempat dengan biaya transportasi minimal (minimum transportation cost) dengan titik-titik penghubung satu sama lain, yang kemudian akan diperoleh sebuah kurva tertutup (closed curve) merupakan lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).

3.      Teori Tempat Sentral (Christaller)
Dalam penentuan lokasi permukiman, dibutuhkan analisis dengan metode yang tepat agar lokasi tersebut optimal. Penentukan lokasi permukiman ini perlu memperhatikan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Aspek tersebut dapat disebut juga sebagai satuan permukiman.  Adapun syarat dari satuan permukiman antara lain adanya lokasi (lahan) dengan lingkungan dan sumber daya yang mendukung, adanya kelompok manusia (masyarakat), sumber daya buatan, dan terdapat fungsi kegiatan ekonomi sosial dan budaya.
Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Bunyi teori Christaller adalah Jika persebaran penduduk dan daya belinya sama baiknya dengan bentang alam, sumber dayanya, dan fasilitas tranportasinya, semuanya sama/seragam, lalu pusat-pusat pemukiman mennyediakan layanan yang sama, menunjukkan fungsi yang serupa, dan melayani area yang sama besar, maka hal tersebut akan membentuk kesamaan jarak antara satu pusat pemukiman dengan pusat pemukiman lainnya.
 Konsep Teori Christaller
  • Range (jangkauan) 
  • Jarak yang perlu ditempuh untuk mendapatkan kebutuhannya. 
  • Threshold (ambang penduduk) Jumlah minimal penduduk untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa.
            Central place yang menyediakan barang dan jasa  untuk wilayah disekelilingnya membentuk sebuah hierarki. Makin tinggi tingkat barang dan jasa, makin besar range-nya dari penduduk di tempat kecil. Christaller berasumsi pada homogenitas karakter fisik dan homogenitas karakteristik penduduk. Christaller menggunakan bentuk hexagon untuk menggambarkan wilayah-wilayah yang saling bersambungan. Lingkaran yang mencerminkan wilayah yang saling bertindih lalu dibelah dua dengan garis lurus. Sehingga dapat dipilih lokasi yang paling efisien. Sehingga dengan membayangkan hexagonal-hexagonal tersebut tercipatalah hierarki pemukiman dan wilayah pasaran.


Berikut ini asumsi – asumsi Christaller dalam penyusunan teorinya :
  • Konsumen menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat pusat dinyatakan dalam biaya dan waktu
  • Jangkauan (range) suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.·  
  • Konsumen memilih tempat pusat yang paling dekat untuk mendapatkan barang dan jasa.
  • Kota-kota berfungsi sebagai tempat pusat bagi wilayah disekitarnya.·  
  • Wilayah tersebut adalah suatu dataran yang rata, mempunyai ciri-ciri ekonomis sama dan penduduknya juga tersebar secara merata.
Teori tempat pusat memiliki elemen dasar yang terdiri dari : fungsi sentral, yakni adanya suatu tempat pusat yang dibentuk oleh fungsi yang besifat memusat karena  fungsi (barang/jasa) hanya ada pada beberapa titik tertentu saja. Threshold (batas ambang) adalah jumlah penduduk tertentu yang mendukung keberadaan fungsi tertentu. Fungsi dalam hal ini yaitu kelancaran dan keseimbangan suplai barang. Jumlah yang dimaksud dapat meliputi beberapa puluh keluarga bagi satu atau beberapa ratus keluarga bagi suatu pasar harian. Kalau jumlah itu di bawah jumlah tertentu/ambang, maka pelayanan menjadi mahal dan kurang efisien; sebaliknya bila meningkat di atas jumlah ambang pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Bila kegiatan itu menyangkut jual beli maka jumlah penduduk di bawah ambang akan mengakibatkan rugi dan terancam tutup; sebaliknya bila di atas ambang maka akan memperoleh untung dan mengundang entry serta dalam jangka waktu tertentu mempertajam persaingan.
Kemudian range yakni jarak di mana penduduk masih mau untuk melakukan perjalanan untuk mendapatkan pelayanan atau fungsi tertentu. Lebih jauh dari jarak ini orang akan mencari tempat lain yang lebih dekat untuk memenuhi kebutuhannya akan jasa yang sama. Dari elemen dasar tersebut muncullah sebuah pola, yaitu pola heksagonal. Pola heksagonal yaitu pusat-pusat membentuk segitiga pelayanan yang jika digabungkan akan membentuk pola heksagonal yang merupakan wilayah pelayanan yang dianggap optimum.

Menurut Christaller, pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat, yaitu:
·         topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan;
·         kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara.
Gambar: Pola berbentuk heksagonal (segienam) Christaller
·         Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri yang menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.
(a)    Prinsip pasar (marketing principle) k=3 : pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, seperti pasar, sering disebut kasus pasar optimal. Dinamakan K=3 (K3), karena suatu kegiatan di tempat pusat akan melayani 3 tempat pusat untuk fungsi di bawahnya yaitu 1 tempat pusat sendiri di tambah 2 tempat pusat hirarki di bawahnya.
(b)   Prinsip lalu lintas (traffic principle) k=4 : bagaimana meminumkan jarak penduduk untuk mendapatkan pelayanan fungsi di tempat pusat. Bersifat linier, karena tempat pusat berada pada titik tengah dari setiap sisi heksagon. Sehingga daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas paling efisien, sering disebut situasi lalu lintas yang optimum. Teori ini disebut sebagai k=4 karena 1 empat pusat melayani empat tempat pusat lain; 1 pada tempat pusatnya itu sendiri dan 3 dari tempat pusat lain.
(c)    Prinsip administrasi (administrative principle) k=7 : wilayah ini mempengaruhi wilayahnya sendiri dan seluruh bagian wilayah – wilayah tetangganya, prinsip utamanya adanya kemudahan dalam rentang kendali pengawasan pemerintahan, sehingga sering disebut situasi administrative optimum dimana keenam pusat hirarki di bawahnya berada pada batas wilayah pelayanan hirarki di atasnya.
Teori Tempat Pusat oleh Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller menggambarkan area pusat-pusat kegiatan jasa pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah membentuk pola segi enam, yang secara teori bisa memberikan keuntungan optimal pada kegiatan tersebut. Tempat – tempat  pusat tersebut yakni sebagai suatu tempat yang menyediakan barang dan jasa-jasa bagi penduduk daerah  belakangnya.
Elemen – elemen tempat pusat yakni range (jangkauan), threshold, dan fungsi sentral Ketiga elemen itu yang mempengaruhi terbentuknya tempat pusat dan luasan pasar baik pelayanan barang maupun jasa pada suatu wilayah. Teori tempat pusat merupakan teori mengenai hubungan fungsional antara satu tempat pusat dan wilayah sekelilingnya. Juga merupakan dukungan penduduk mengenai fungsi tertentu. Christaller tidak mendasar pada jangkauan wilayah pasar, dan meiliki hirarki – hirarki dalam pola heksagonalnya. Luas wilayah pasar juga tidak tergantung pada barang yang diproduksi.
4.      Perluasan Teori Tempat Sentral Losch
Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat dijaringnya. Makin jauh dari pasar, konsumen enggan membeli karena biaya transportasi (semakin jauh tempat penjualan) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar. Losch menyarankan lokasi produksi ditempatkan di dekat pasar (baca: Centre Business District).
Losch juga berpendapat bahwa pasar tidak hanya dapat disusun menurut pengaturan 3,4 atau 7 tetapi masih memungkinkan lebih banyak susunan daerah pasar dalam suatu jaringan. Lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. Sehingga menurut Losch tidak ada alasan mengapa daerah pasar dikaitkan dengan pusat – pusat produksi dan bersifat kaku seperti yang diungkapkan christaller. Dalam hal ini, pusat jaringan penting tetapi lebih diharapkan pusat mampu melayani semua wilayah pasar atau yang dinamakan metropolis. Metropolis merupakan pusat dari seluruh jaringan dan mempunyai order tertinggi. Selanjutnya jaringan tersebut ditata sedemikian rupa sehingga dari titik pusat (metropolis) tersebar banyak alternative sector. Menurut Losch, pusat – pusat wilayah pasar dibagi menjadi sector “kota kaya” (city rich) dan “kota miskin” (city poor). Sektor kota kaya mempunyai karakteristik :
1)            Jaringan market area yang luas
2)            Aktifitasnya banyak sehingga order lebih tinggi 
Sedangkan, untuk kota miskin memiliki karakteristik :
1)      Jaringan market area yang sempit
2)      Aktifitasnya sedikit sehingga order lebih rendah
Kontribusi utama Losch adalah memperkenalkan potensi permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam lokasi industri, Kedua, kritik terhadap pendahulunya yang selalu berorientasi pada biaya terkecil; padahal yang biasanya dilakukan oleh industri adalah memaksimalkan keuntungan (profit–revenue maximation) dengan berbagai asumsi, Losch mengemukakan bagaimana economic landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara supply dan demand. Oleh karena itu Losch merupakan pendahulu dalam mengatur kegiatan ekonomi secara spasial dan pelopor dalam teori ekonomi regional modern.
August Losch merupakan orang pertama yang mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tidak teratur dapat diketemukan pola keberaturan.
Teori Losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber bahan mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama. Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-masing. Perdagangan baru terjadi bila terdapat kelebihan produksi. Untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang Losch harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1)      Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli.
2)      Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani.
3)      Terdapat free entry dan tidak ada petani yang memperoleh super-normal prpfit sehingga tidak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.
4)      Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum.
5)      Konsumen bersikap indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah.
Wilayah homogen adalah wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan keseragaman atau seperangkat ciri atau karakteristik tertentu dari aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan beserta kombinasi dan turunannya. Wilayah homogeny dibatasi oleh keseragaman secara internal (internal uniformity). Sifat dan cirri homogenitas dalam hal
ekonomi seperti struktur produksi dan konsumsi yang homogem dan tingkat pendapatan yang homogen. Dalam hal geografi yaitu wilayah yang mempunyai topografi dan iklim yang sama.
Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional memiliki sifat saling ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah dibelakangnya (hinterland). Ketergantungan antara pusat dan daerah dapat dilihat dari faktor produksi, penduduk, barang dan jasa, komunikasi, transportasi serta perhubungan di antara keduanya. Wilayah nodal digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah (ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi). Batas wilayah nodal didasarkan pada pengaruh suatu pusat kegiatan ekonomi jika digantikan oleh pusat kegiatan ekonomi lainya. Struktur dari wilayah nodal dapat digambarkan berupa suatu sel hidup dengan adanya inti dan plasma yang saling melengkapi. Intergrasi fungsional merupakan dasar hubungan ketergantungan atas dasar kepentingan masyarakat di wilayah tersebut. Beberapa contoh wilayah nodal seperti Jabodetabek (Jakarta sebagai inti dan Bogor, Depok, Tagerang, Bekasi sebagai wilayah belakangnya).
Wilayah perencanaan adalah wilayah yang batasannya didasarkan secara fungsional dalam kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah perencanaan mengalami perubahan-perubahan penting dalam pengembangannya dan memungkinkan persoalan-persoalan perencanaan sebagai suatu kesatuan. Wilayah perencanaan memiliki ciri-ciri yaitu masyarakat mempunyai kesadaran terhadap permasalahan yang dihadapi daerah, memiliki kemampuan untuk merubah industri yang dilaksanakan sesuai dengan tenaga kerja yang tersedia, menggunakan salah satu model perencannaan, dan memiliki pusat pertumbuhan.
Wilayah administrasi merupakan wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa atau kelurahan. Wilayah dalam pengertian administratif sering disebut juga daerah. Wilayah administrasi berupa propinsi dan kabupaten atau kota merupakan daerah otonom dan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengunaan wilayah administrasi disebabkan oleh dua faktor, yakni berdasarkan satuan administrasi dalam melaksanakan kebijakan dan rencana pembangunan wilayah, dan wilayah didasarkan pada satuan adminstrasi pemerintahan untuk mempermudah dianalisis dalam pengumpulan data di berbagai bagian wilayah.
               Pada teori Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan) harga. Hal ini disebabkan karena produsen tidak mampu memenuhi permintaan yang karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani permintaan yang belum terpenuhi.
Dengan makin banyaknya petani yang menawarkan produk yang sama, maka akan terjadi dua keadaan :
1. seluruh daerah akan terlayani,
2. persaingan antar petani penjual akan semakin tajam dan saling berebut pembeli.
Losch berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan.
Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch berasumsi bahwa harga hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan harga jualnya. Keputusan ini mengakibatkan tidak hanya pasar menyempit karena konsumen tak mampu membeli tapi sebagian pasar akan hilang dan direbut oleh penjual yang berdekatan. Untuk memperluas jangkauan pasar dapat dilakukan dengan menjual barang yang berbeda jenis dari yang sudah ditawarkan.
5.      Teori Kutub Pertumbuhan Perroux
Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis yang dipelopori oleh François Perroux. Perroux (1955) telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan (pole de croissance/ pole de developmentgrowth pole).
Menurut pendapatnya, petumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-perusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya, dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.
Perroux menekankan pada dinamisme industri-industri dan aglomerasi industri-industri di bagian-bagian tata ruang geografis. Konsep kutub pertumbuhan dapat digunakan sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala pembangunan, proses kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul dan berkembangnya industri-industri pendorong serta peranan keuntungan-keuntungan aglomerasi. Secara esensial teori kutub pertumbuhan dikategorisasikan sebagai teori dinamis. Proses pertubuhan digambarkan sebagai keadaan yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan atau keberhasilan kutb-kutub dinamis. Inti pokok dari pertumbuhan wilayah terletak pada inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan atau industri-industri berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar perusahaan atau industri.
Dalam mengembangkan teorinya, Perroux sangat terpengaruh dan mendasarkan pada teori Schumpeter. Pada umumnya unit-unit ekonomi berskala besar dapat mendominasi pengaruh-pengaruhnya terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Konsep Perroux mempunyai pengertian adanya kaitan erat antara skala perusahaan, dominasi, dan dorongan untuk melakukan inovasi. Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux, suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry/industries clef) yang memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan inovasi.
Suatu kutub pertumbuhan dapat merupakan pula suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Industri kunci adalah industri yang mempunyai dampak berantai ke depan (forward linkage) yang kuat. Dengan contoh : industri baja di suatu daerah akan menimbulkan kekuatan sentripetal, yaitu menarik kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan pembuatan baja, baik pada penyediaan bahan mentah maupun pasar. Industri tersebut juga menimbulkan kekuatan sentrifugal, yaitu rangsangan timbulnya kegiatan baru yang tidak berhubungan langsung dengan industry baja. Jadi pada dasarnya teori kutub pertumbuhan menerangkan akibat dari sekelompok kesatuan-kesatuan yang memimpin atau karena polarisasi.
6.      Teori Kutub Pembangunan yang Terlokalisasi (Boudeville)
            Boudeville (1961) telah menampilkan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan (localized poles of development). Mengikuti pendapat Perroux, ia mengidentifikasikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (H. W. Richardon, 1972, 85). Ia mengemukaan aspek kutub fungsional, tetapi dalam bukunya The Problem of Regional Economic Planning, ia memberikan pula perhatian pada aspek geografis. Teori Boudeville dapat dianggap sebagai pelengkap terhadap teori-teori tempat sentral, yang diketengahkan oleh Crhristaller (1933) dan kemudian diperluas oleh Losch (1940), atau dapat dikatakan bahwa teori Boudeville telah menjembatani terhadap teori-teori spasial yang terdahulu, yang menekuni persoalan-persoalan organisasi kegiatan-kegiatan manusia pada tata ruang. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan mengenai aspek-aspek geografis dan regional serta hubungan komplementer antara teori Boudeville dengan teori-teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan.
            Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis, sedangkan teori lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-kutub pembangunan fungsional berada atau dimana kutub-kutub tersebut dilokalisasikan pada tata ruang geografis pada waktu yang akan datang. Jadi untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Teori tempat sentral dapat dianggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja secara spatial.
            Teori tempat sentral dan khususnya mengenai saling ketergantungan fungsional yang diformulasikan oleh Christaller tanpa memperhitungkan adanya hambatan-hambatan geografis-spasial, adalah merupakan titik permulaan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai impak pembangunan pada suatu pusat tertentu atau pada pusat-pusat lainnya dan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota. Ditinjau dari segi lain terdapat kekurangan-kekurangan yaitu tempat sentral tidak menjelaskan gejala-gejala pembangunan. Teori tempat sentral dikategorisasikan sebagai teori statis, yang hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu dan tidak membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan teori kutub pertumbuhan yang telah dimodifikasikan dan dapat digunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.
            Untuk memahami komplementaris hubungan-hubungan antara teori tempat sentral dan teori Boudeville dijumpai beberapa kesulitan. Teori tempat sentral (Christaller dan Losch) bersifat deduktif dan merupakan teori keseimbangan statis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip pada tingkat perusahaan dan hubungan-hubungan antar perusahaan. Sedangkan teori Boudeville adalah berdasarkan teori pembangunan dinamis yang menggunakan cara induktif dan berkenan dengan tingkat industri-industri dan besaran makro. Teori tempat sentral hanya menjelaskan mengenai pengelompokan pada tata ruang geografis, di lain pihak teori Boudeville berusaha menjelaskan secara simultan mengenai tata ruang fungsional (secara abstrak) dan tata ruang geografis (secara rill), yaitu menjelaskan perubahan-perubahan pada tata ruang fungsional ke dalam tata ruang geografis. Sedangkan teori kutub pertumbuhan Perroux merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri dan tata ruang yang terorganisasikan, akan tetapi teori ini kurang ampuh bila diterapkan untuk pembahasan mengenai pengelompokan pada tata ruang geografis, teori ini lebih berkenan dengan pembahasan mengenai perubahan-perubahan struktural dari pada menganalisis aspek-aspek pembangunan.
            Pengelompokan pada tata ruang geografis telah diperlihatkan dalam model tempat sentral. Selanjutnya oleh Boudeville pengelompokan ini diterapkan pada pembangunan dalam arti fungsional, sedangkan difusi (penghamburan) pembangunan pada tata ruang geografis diterapkan pada pembangunan dalam tata ruang melalui tipe transformasi.
            Untuk menjelaskan difusi dorongan-dorongan pembangunan diantara kutub-kutub yang terjadi dalam kerangkan dasar dinamis diperlakukan pendekatan teoretik baru. Dalam hubungan ini hipotesis Hirscham (dampak tetesan ke bawah dan dampak polarisasi atau trickling down effect and polarization effect) dan Myrdal (dampak penyabaran dan dampak pengurasan atau spread effect and backwash effect). C. Myrdal (1976, 56-65) tentang peristiwa-peristiwa geografis dan penyebaran pertumbuhan ekonomi memberikan sumbangan yang bermanfaat, karena keduanya berusaha menggabungkan sejauh mungkin pengaruh penyebaran pertumbuhan dilihat dari aspek ekonomi. Teori Hirschamn dan teori Myrdal menelusuri pula dimensi geografis walaupun hanya secara tidak langsung.
            Teori Boudeville merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan di antara pengelompokan-pengelompokan yang bersangkutan.
            Dalam aplikasi teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional, nampaknya pendapat Boudenville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristik-karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut Boudeville menekankan pada tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
            Implikasi penting dari hubungan teori antara teori Boudeville dan teori tempat sentral dalam konteks perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh banyak negara dapat dikemukaan dua persoalaan yang relevan, yaitu:
(1)   Bagaimana merintis proses pembangunan wilayah-wilayah yang terbelakan secara terus menerus, dan
(2)   bagaimana mengarahkan proses urbanisasi sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi pusat-pusat kota secara geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya (A. Kuklinski (ed), 1968, 39-40)
            Persoalan pertama merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh pembangunan dari instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit di wilayah terbelakang tersebut ke tempat-tempat tertentu disekitarnya. Unit-unit inti yang dimaksud merupakan merupakan mata rantai dalam tata ruang fungsional dan tata ruang geografis, yang menunjang masuknya inovasi dari luar dan perubahan-perubahan pembangunan melalui (dampak berantai ke belakang dan dampak berantai ke depan atau backward linkage and forward linkage sehingga difusi internal dapat dipercepat.
Persoalan kedua pada dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau cocok untuk pendirian perusahaan-perusahaan industri dan jasa. Lokasi-lokasi tersebut merupakan bagian-bagian dari kutub-kutub pembangunan. Pengaruh-pengaruhnya didistribusikan pada sistem pusat-pusat dalam tata ruang geografis. Peristiwa-peristiwa geografis semacam ini memberikan sumbangan pada usaha-usaha untuk memperbaiki susunan geografis secara efisien.

7.      Teori Masukan Transport (Substitusi) dari Walter Isard
 Walter Isard (1956) mengembangkan logika teori dasar Weber dengan menempatkan teori tersebut dalam konteks analisis substitusi sehingga menjadi alat peramal yang tangguh (robust) namun sederhana. Seperti Weber, Isard menyadari bahwa biaya transpor merupakan determinan utama untuk menentukan lokasi suatu industri, akan tetapi bukan satu-satunya. Ia membahas gejala aglomerasi terutama di kota-kota besar. Ia adalah salah satu ahli ekonomi yang menaruh perhatian besar pada masalah perkotaan, telah mengetengahkan pentingnya penghematan urbanisasi, yang merupakan salah satu manfaat dari aglomerasi.
Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat terjadi di titik-titik sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar, jika bahan baku setempat adalah murni.  Sehingga terdapat dua variabel yaitu jarak dari pasar dan jarak sumber bahan baku. Hubungan kedua variabel tersebut dapat diplotkan dalam bentuk grafik di mana garis yang menghubungkan antara sumber bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik kombinasi antara bahan baku dan pasar yang bersifat substitusi (Gambar 3.6). apabila ditambah lagi satu varriabel baru yaitu penggunaan bahan baku kedua ke dalam input produksi, maka terdapat tiga set hubungan substitusi.
Alasan mengapa istilah satu variabel dibuat tetap, hanyalah untuk mempermudah pembuatan grafik dua dimensi. Penyelesaian masalah dalam penentuan lokasi dapat dilihat secara bertahap melalui pasangan-pasangan dua sudut  dari segitiga tersebut. Titik biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan titik di mana jarak tempuh total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga jarak parsial dapat digunakan untuk menentukan beberapa substitusi lokasi yang paling rendah.
Sumbangan pemikiran Isard lainnya adalah ia telah memasukkan analisis kompleks industri (industrial complex). Suatu industri kompleks didefinisikan sebagai suatu perangkat kegiatan-kegiatan pada suatu lokasi spesifik yang mempunyai saling keterhubungan secara teknis dan produksi. Industri-industri dapat bekrja secara optimal bila berkelompok bersama-sama secara tata ruang daripada mereka melyani sendiri perdagangan yang meliputi daerah yang luas (Richardson, 1972).
Meskipun suatu kompleks industri tidak mempunyai suatu industri pendorong seperti dalama teori kutub pertumbuhan, akan tetapi kompleks industri memberikan perhatian sama pentingnya pada keuntungan-keuntungan aglomerasi atau konsentrasi tersebut akan menimbulkan keuntungan-keuntungan, yaitu penghematan skala, penghematan lokalisasi dan penghematan aglomerasi. 
Penghematan skala, secara teknis berkenaan dengan struktur masukan suatu perusahaan atau industri. Produksi dengan skala besar berarti dapat membagi beban biaya-biaya tetap pada unit-unit yang terdapat dalam sistem produksi, dengan demikian unit biaya produksi dapat ditekan lebih rendah, sehingga perusahaan tersebut mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani pasar yang luas atau penduduk dalam jumlah besar.

Text Box: GT pada m Text Box: GT pada m Text Box: GT pada m            A                                                B                                       C


                                        





                       GT pada c                       GT pada c                                    GT pada c
                                                                                         
Keterangan : GT  = garis transformasi                  c  = pusat konsumsi
                        M = sumber bahan mentah           W = berat
Gambar 3.6. Garis-garis Transformasi (GT) (Adisasmita, 2008)








M                                         M                                             M
 







(i)                                                    (i)                                              (i)
tm = tc                     C                       tm < tc            C                            tm  > tn          C
(iii)      Skala biaya transpor pro-      (iii) Skala biaya trans-          (iii) Skala biaya transpor
porsional terhadap jarak               por proporsional                   proporsional terhadap    
                                                            terhadap jarak                       jarak
Gambar 3.7. Garis-garis Rasio Harga (GRH) (Adisasmita, 2008)

Dengan bantuan garis transformasi ditunjukkan bagaimana dengan perubahan lokasi dapat disubstitusikan masukan transpor suatu barang (bahan mentah) dengan masukan transpor lainnya (produk akhir). Rasio antara berat bahan mentah dan berat produk akhir mungkin sama dengan 1, lebih besar dari 1, atau lebih kecil dari 1 (lihat Gambar 3.6). Untuk mengetahui kedudukan keseimbangan spasial diperlukan suatu perangkat garis-garis rasio harga, yang mencerminkan harga-harga relatif dari dua perangkat masukan transport. Dalam hal ini dibandingkan biaya-biaya transport per ton-kilometer untuk bahan mentah dan produk akhir (sama dengan 1 atau lebih kecil 1), selain daripada itu perlu diketahui pula apakah biaya transport proporsional atau tidak dengan jarak (lihat Gambar 3.7.). Selanjutnya dengan bantuan garis-garis rasio harga tersebut dapat diketahui titik keseimbangan lokasi suatu pabrik, apakah mendekati sumber bahan mentah atau pasar.
8.      Polarisasi dan Tricking Down menurut Myrdal, Hirscman
Hirscman adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang. Secara geografis, pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak seimbang selalu dapat dilihat bahwa kemajuan disuatu tempat (titik) menimbulkan tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kearah perkembangan pada tempat-tempat (titik-titik) berikutnya. Hirscman (1958), menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi berbeda tingkat intensitasnya pada tempat yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi diutamakan pada titik originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Ia menggunakan istilah Titik Pertumbuhan (Growing Point) atau Pusat Pertumbuhan (Growing Centre).
Di sutau negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industry berkelompok ditempat itu, karena diperoleh beberapa manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan investasi, lapangan kerja dan upah buruh relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat- pusat pertumbuhan dari pada daerah belakang. Antara pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang trampil dan pihak lain akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat koplementaritas antaradua tempat tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan kedaerah-daerah belakang (trikling down) dan sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi pengaruh polarisasi (Keban, 1995). Jika pengeruh polarisasi lebih kuat dari pengeruh penyebaran pembangunan maka akan timbul masyarakat dualistik, yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern juga memiliki daerah perdesaan terbelakang (Hammand,1985, Indra Catri,1993). Walaupun terlihat suatu kecenderungan yang suram namun Hirschman optimis dan percay bahwa pengaruh trikling-down akan mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya bila daerah perkotaan berspesialisasi pada industri dan daerah perdesaan berspesialisasi pada produksi primer, maka meluasnya permintaan daerah perkotaan harus mendorong perkembangan daerah perdesaan, tetapi apa yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Pada khususnya ada kemungkinan besar bahwa elastisitas penawaran jangka pendek di daerah perdesaan adalah sedimikian rendah sehingga dasar pertukaran akan berubah merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang penghematan-penghematan ekstrnal dan tersedianya komplementaritas di pusat-pusat akan menjamin penyebaran pembangunan ke daerah-daerah disekitarnya.
Pada pihak lain, berdasarkan konseptual yang serupa mengenai struktur titik-titik pertumbuhan dan daerah-daerah belakang, Myrdal (1957) menggunakan istilah Backwash effect dan spread effect yang artinya persis serupa dengan polarisasi dan pengaruh trikling down. Namun demikian, dalam penekanan pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan terdapat perbedaan yang cukup besar. Analisa Myrdal 5 memberikan kesan pesimistis, ia berpendapat bahwa polarisasi muncul lebih kuat dari pada penyebaran pembangunan, permintaan faktor-faktor produksi akan menumpuk di daerah- daerah perkotaan yang memberikan manfaat kepadanya, dan sebaliknya di daerah perdesaan yang tidak menguntungkan akan menipis.
Pesimisme tersebut dapat dimaklumi karena Myrdal tidak memaklumi bahwa timbulnya titik pertumbuhan adalah suatu hal yang tidak terelakkan dan merupakan syarat bagi perkembangan selanjutnya dimana-mana. Pusat pemikiran Myrdal pada kausasi komulatif menyebabkan ia tidak dapat melihat dengan titik balik apabila perkembangan kearah polarisasi di suatu wilayah sudah berlangsung untuk beberapa waktu. Kausasi sirkuler komulatif selalu meghasilkan penyebaran pembangunan yang lemah dan tidak kemerataan, atau dapat dikatakan bahwa mobilitas akan memperbesar ketimpangan pendapatan dan migrasi akan memperbesar
ketimpangan regional.
Berdasarkan pada perbedaan pandangan diatas, maka kebijaksanaan perspektif yang dianjurkan oleh Hirschman dan Myrdal berbeda pula. Hirschman menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembengunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan unmtuk melemahkan backwash effets dan meperkuat sread effeetc agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil ketimpangan regional (Murtomo, 1988, Indra Catri, 1993, Keban, 1995).
Gunnar Myrdal (1957) dan Aschman (1958) dalam Keban (1995), menyerang pengertian equilibrium dalam teori ekonomi dan mengemukakan ide-ide dasar tentang polarisasi pembangunan. Menurut pandangan Myrdal, daerah-daerah inti dari perekonomian adalah magnit penguat dari kemajuan. Myrdal mengemukakan bahwa setel;ah pertumbuhan dimulai pada lokasi yang dipilih pada perekonomian bebas, arus masuk tenaga kerja, ketrampilan, modal dan komoditi berkembang secara spontan untuk mendukungnya. Tetapi arus ini meliputi efek backwash, ketidak samaan antara daerah-daerah yang berkembang dengan daerah-daerah lain.
Daerah-daerah yang sedang tumbuh mempengruhi daerah-daerah lain melalui dua kekuatan yang berlawanan , menurut model Myrdal disebut Effect backwash dan efek penyebaran (Spread effect dan backwash effect). Efek penyebaran menunjukkan dampak yang menguntungkan dari daerah-daerah yang makmur terhadap daerahdaerah yang kurang makmur, hal ini meliputi : meningkatnya permintaan komoditiprimer, investasi dan difusi ide serta tehnologi. Dalam banyak negara-negara terbelakang, efek penyebaran terbatas pada daerah daerah disekitar pusat-pusat herarkhi perkotaan (Murtomo, 1988, Keban, 1995).
Hirschman membantah bahwa memilih dan memusatkan aktivitasnya pada titiktitik pertumbuhan adalah alami bagi para pengusaha. Pembangunan lama kelamaan tidak berimbang, pertumbuhan daerah yang sedang berkembang membatasi kapasitas 6 pertumbuhan dimana mana. Utara (North) menarik tenaga trampil dan tabungan dari selatan (south). Elastisitas permintaan income lebih besar untuk barang-barang buatan north, dan oleh karena itu syarat syarat perdagangn melawan produsen south akan komoditi primernya (Jhingan,M.L.1993, Arsyad, 1988).
Ide pokok dari model Hirschman adalah bahwa efek polaritas disebabkan oleh “effect trickling down”, ekuivalen dengan efek penyebaran dari Myrdal. Effect trickling down meliputi tujuan komoditi North yang diproduksi di South dan gerakan modal keselatan, disamping North dapat menarik tenaga selatan yang cukup untuk menjamin meningkatnya produktivitas tenaga kerja marjinal dan tingkat konsomsi perkapirta South. Hischman bersikeras bahwa effect trickling down hanya bisa terjadi bila di North membutuhkan South untuk ekspansinya sendiri.

9.      Teori Daerah/Wilayah Inti
John Friedmann menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general. Friedmann telah menampilkan teori daerah inti dalam artikel yang berjudul "A General Theory of Polarized Development", dalam Hansen N.M (1972). Di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery regions. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut pula daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah di sekitarnya.
Pengembangan dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinyu tetapi komulatif yang berasal pada sejumlah kecil pusat-pusat perubahan, yang terletak pada titik-titik interaksi yang mempunyai potensi interaksi tertinggi.
Pembangunan inovatif cenderung menyebar ke bawah dan keluar dari pusat-pusat tersebut ke daarah-daerah yang mempunyai potensi interaksi yang lebih rendah (Hansen, N.M :1972).
Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megalopolis, dikategorisasikan sebagai daerah-daerah inti. Daerah-daerah yang relatif statis sisanya merupakan subsistem-subsistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh lembaga-lembaga di daerah inti. Dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem spasial yang lengkap.
Proses daerah-daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah-daerah pinggiran dilaksanakan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan daerah inti. Terdiri dari pengaruh dominasi (melemahnya perekonomian di daerah-daerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya sumberdaya-sumberdaya alam, manusia, dan modal ke wilayah inti), pengaruh informasi (peningkatan dalam interaksi potensial untuk menunjang pembangunan inovatif), pengaruh psikologis (penciptaan kondisi yang menggairahkan untuk melanjutkan kegiatan kegiatan inovatif secara lebih nyata), pengaruh antar rantai (kecenderungan inovasi-inovasi untuk menghasilkan inovasi lainnya), dan pengaruh produksi menciptakan struktur balas jasa yang menarik untuk kegiatankegiatan inovatif, (Hasen, N.M ; 1972).
Pada umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibukota pemerintahan,dan sebagainya.
Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut (Hasen, N.M ; 1972) :
1.      Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah di sekitarnya melalui sistem suplai, pasar, dan daerah administrasi.
2.      Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi kedaerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.
3.      Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan sistem spasial, akan tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan wilayah inti kepada daerah-daerah di sekitarnya tidakberhasil ditingkatkan, sehingga keterhubungan dan ketergantungan daerahdaerah di sekitarnya terhadap daerah inti menjadi berkurang.
4.      Dalam suatu sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karateristikkarateristiknya secara terperinci dan prestasinya.
5.      Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah sistem spasial dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.
Meskipun hubungan daerah inti - daerah pinggiran sebagai kerangka dasar kebijakan dan perencanaan pembangunan regional dianggap kasar dan sederhana, akan tetapi dapat digunakan untuk menjelaskan keterhubungan dan ketergantungan antara pusat dan daerah-daerah sekitarnya. Kemudian Friedmann dikembangkan klasifikasi daerah inti dan daerah-daerah pinggiran menjadi daerah metropolitan (metropolitan region), poros pembangunan (development axes), daerah perbatasan (frontier region), dan daerah tertekan (depressed region).
Secara esensial hubungan antara daerah metropolitan dengan daerah daerah perbatasan tidak berbeda dengan hubungan antara daerah inti dengan daerah-daerah pinggiran. Poros pembangunan merupakan perluasan dari daerah metropolitan dan sebagai bentuk embrio untuk berkembang menjadi megapolis.
Wilayah perbatasan termasuk dalam kategori daerah pinggiran, dan di dalamnya terdapat pusat-pusat kecil yang mempunyai potensi berkembang menjadi pusat-pusat yang lebih besar pada masa depan.
Dari klasifikasi di atas dapat diperoleh pelajaran yang bermanfaat, yakni suatu kebijaksanaan nasional pengembangan wilayah harus menyadari bahwa masalah-masalah dan metode pembangunan adalah berbeda-beda untuk setiap wilayah. Selain itu perubahan-perubahan ekonomi dan pembangunan pada umumnya yang tejadi di seluruh jenis wilayah mempunyai ketergantungan satu sama lainnya.
Seperti halnya dengan teori kutub pertumbuhan (Perroux, 1964), Friedmann memberikan perhatian penting pada daerah inti sebagai pusat pelayanan dan pusat pengembangan. Teori-teori tersebut tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum industri dan tidak pula menentukan jenis investasi apa yang sebaiknya ditetapkan di pusat-pusat urban. Oleh karena itu mereka diklasifikasikan sebagai tanpa tata ruang. Walaupun demikian disadari bahwa pusat-pusat urban mempunyai peranan yang dominan yaitu memberikan pancaran pengembangan ke wilayah-wilayah di sekitarnya. Daerah inti mempunyai daya pengikat yang kuat untuk mewujudkan integrasi spasial sistem sosial, ekonomi, dan budaya suatu bangsa.Demikian kuat dominasi pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak negatif yaitu munculnya susunan-susunan ketergantungan dualistik sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mendalam bagi pembangunan nasional.Beberapa arah perkembangannya yang penting dapat dikemukakan, yaitu hiper urbanisasi, pembangunan modern hanya terpusat di beberapa kota saja, sedangkan daerah-daerah di luarnya boleh dikatakan terpencil dari perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, pengangguran dan kerja di bawah daya (underemployment), perbedaan pendapatan dan kemiskinan, kekurangan makanan yang terus menerus, hidup kebendaan penduduk daerah pertanian tambah buruk, dan ketergantungan pada dunia luar. (Friedmann dan Douglass, 1976).
Memperlihatkan kelemahan-kelemahan di atas, maka Friedmann menganjurkan pembentukan agropolis-agropolis atau kota-kota di ladang. Hal ini berarti tidak mendorong perpindahan penduduk desa ke kota-kota besar, tetapi mendorong mereka untuk tetap tinggal di tempat mereka semula. Dengan pembangunan agropolitan distrik, pertentangan abadi antara kota dan desa dapat diredakan terutama di negara-negara berkembang, (Friedman dan Douglass, 1976).
Salah satu dimensi perencanaan regional dalam bidang perkotaan ialah bagaimana menggerakkan pertumbuhan kota-kota kecil agar dapat mencapai pertumbuhan spontan yang mampu menyangga sendiri pembangunan kota-kota kecil (spontaneous self-sustained growth). Dengan demikian pembangunan agropolis-agropolis itu diusahakan tersusun dalam suatu jaringan kota secara regional yang disertai dengan pembangunan dan perbaikan fasilitas perhubungan antar kawasan agropolitan ke kota-kota besar. Menetapkan kota agropolis menjadi pusat jasa-jasa pelayanan tertentu dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar dari pada yang terdapat dalam suatu kawasan (Fu Chen Lo, 1976).
Menurut Friedmann, kunci bagi pembangunan kawasan agropolitan yang berhasil ialah memperlakukan tiap-tiap kawasan sebagai satuan tunggal dan terintegrasi. Kawasan agropolitan merupakan suatu konsep yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan tata ruang melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan. (Friedmann dan Douglass, 1976).
Friedmann telah mengembangkan teori kutub pertumbuhan dalam sistem pembangunan yang diselenggarakan berdasarkan atas desentraslisasi yang terkonsentrasikan (concentrated decentralization) atau sistem dekonsentrasi (FuChen Lo, 1976). Pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan selama ini mengikuti sistem desentralisasi, di mana peranan Pemerintah Pusat sangat besar.Ciri-cirinya yang menonjol antara lain adalah :
  1. Pola pembangunan nasional atau sering disebut pula sebagai pembangunan sektoral, prioritasnya ditentukan berdasarkan kebijakan nasional.
  2. Anggaran pembangunan disediakan oleh pemerintah pusat dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan
  3. Pengelolaan proyek-proyek pembangunan dipertanggungjawabkan kepada perangkat departemen di pusat atau perangkat pusat di daerah (jika pelaksanaannya didelegasikan kepada perangkat pusat di daerah).


Ciri-ciri kawasan agropolitan seperti yang dianjurkan Friedmann mirip dengan kota-kota (Ibukota-Ibukota Kabupaten) yang berpenduduk 50.000 orang ke bawah. Kebijakan perspektif yang dianjurkan oleh Friedman (1975) adalah :
  1. Menganjurkan pembentukan lebih banyak titik-titik pertumbuhan ;
  2. Merangkai pusat-pusat agropolitan menjadi suatu jaringan pusat yang serasi secara regional.
Teori ini menjadi teori menarik untuk diadopsi sebagai salah satu teori tentang pengembangan wilayah dengan adanya daerah-daerah inti yang menarik banyak hal dari daerah-daerah sekitarnya termasuk sumberdaya manusia yang kemudian disebut dengan komuter karena berdomisili di kota sekitar namun bekerja di kota inti .
10.  Teori Simpul Jasa Distribusi
Poernomosidi Hadjisaroso (2011) mengemukakan bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan modal, yang bertumpu pada pengembangan SDM dan SDA-nya. Pengembangan kedua jenis sumber daya tersebut berlangsung sedemikian rupa sehingga menimbulkan arus barang. Arus barang dianggapnya sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol.
Poernomosidi Hadjisarosa menjelaskan Teori Simpul Jasa Distribusi yang telah dikembangkan dalam berbagai artikel dan Makala, misalnya Konsepsi Dasar Penembangan Wilayah di Indonesia ( Makala di sajikan dalam symposium di ITB,tanggal 21 Agustus 1980, dan dalam pertemuan antara ilmuan lembaga ilmu pengetahuan Indonesia di Jakarta, Tanggal 24 Juni 1981 ).  Poernomosidi menjelaskan konsepnya sebagai berikut : Berkembangnya Wilayah ditandai oleh terjadinya Pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlangsungnya berbagai kegiatan usaha , baik sector Pemerintah maupun sector Swasta, yang pada dasarnya bertujuan untuk menigkatkan pemenuhan kebutuhan. Berlangsungnya kegiatan usaha tersebut ditunjang dari segi modal.
Dibandingkan dengan teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan ternyata teori “ Simpul Jasa Distribusi “ lebih akomodatif. Poernomosidi membantah Teori tempat sentral yang beranggapan bahwa seluruh wilayah terbagi habis dan seluruh bagian Wilayah tidak ada yang terlewatkan oleh jasa pelayanan. Dalam hal ini Poernomosidi membedakan wilayah Adminnistratif dengan wilayah pengembangan. Secara administratif, seluruh wilayah terbagi habis tetapi tidak berarti seluruh Wilayah Administrasi otomatis tercakup dalam Wilayah pengembangan, dalam kenyataannya  bebrapa bagian Wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi disebabkan hambatan – hambatan geografis atau karena belum tersedianya Prasarana – prasarana perhubungan kea tau dari bagian – bagiian Wilayah tersebut.
Arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan, jasa pengangkutan serta distribusi. Bahan mentah diangkut dari daerah penghasil ke lokasi pabrik dan selanjutnya barang hasil diangkut dari produsen ke konsumen. Jadi, jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik. 
Gambar Struktur Dasar Pengembangan Wilayah Poernomosidi

Kriteria untuk menyatakan tingkat pertumbuhan di daerah adalah tingkat kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan hidup maupun kebutuhan melakukan kegiatan usaha. Adapun bentuk kemudahannya berupa kemudahan-kemudahan jasa distribusi. Sedangkan kota-kota yang merupakan pusat kegiatan usaha distribusi, disebut “simpul jasa distribusi” atau disingkat dengan simpul.
Kota-kota sebagai “simpul jasa distribusi” besar berinteraksi dengan simpul kecil dan daerah belakang dalam wilayah pengaruhnya. Tingkat interaksi dilihat atas dasar tingkat kepadatan arus barang. Semakin kuat karakter simpul berarti jangkauan wilayah pengaruhnya semakin luas dan jauh.
Hirarki setiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul berdasarkan mekanisme arus distribusi barang. Fungsi primer simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah pengembangan (eksternal), sementara fungsi sekunder adalah bagi kehidupan masyarakat di dalam simpul (internal). Antara simpul-simpul dari tingkatan orde distribusi sama maupun berbeda terdapat keterhubungan dan ketergantungan.
Konsep ini lebih kontekstual di Indonesia karena menggunakan pendekatan realistic, dimana analisisnya bertitik tolak dari kehidupan masyarakat pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Hal itu daoat dilihat dalam pengembangan aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber daya alam suatu struktur ruang yang menimbulkan pertumbuhan modal untuk tahapan pembangunan selanjutnya.
Konsep simpul jasa distribusi berupaya memformulasikan struktur pengembangan wilayah secara nasional melalui penyebaran orientasi, tingkat perkembangan serta interaksi antara satuan-satuan wilayah pengembangan melalui simpul-simpulnya.
            Pada teori kutub pertumbuhan yang diungkapkan oleh Perroux, Poernomosidi mencoba membandingkan dengan teorinya di mana pada teori kutub pertumbuhan tidak menjelaskan pertumbuhan secara Nasional. Sedangkan teori simpul yang bertitik tolak pada pemahaman struktur wilayah tingkat Nasional ( SPWTN ) telah mengungkapkan gambaran tentang penyebaran, orientasi dan tingkat perkembangan masing – masing satuan Wilayah Pengembangan ( SWP ) serta hubungan ketergantungan antar (SWP ) melalui simpul – simpulnya masing – masing.












DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. 2008. Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Boudeville, J.R. 1996. Problems of Regional Economics Planning. Edinburgh University Press. Edinburg.

Christaller, W. 1966. Central Places in South Germany, terjemahan Baskin, W.W. Wnglewoods Cliffs, N.J. Prentice Hall, Inc.

Hirschaman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University. New Heaven.

Kuklinski, A. (ed). 1972. Growth Poles and Growth Centres in Regional Planning. The Hague. Mouton.

Myrdal, G. 1976. Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin, terjemahan Paul Sitoang. Gramedia. Jakarta.

Perroux, F. 1964. Economic Space: Theory and Applications, dalam Friedmann J. And Alonso, W (ed). Regional Development and Planning: A Reader, Cambridge, Massachusetts, The M.I.T. Press

Richardson, H.W. 1972. Regional Economics: Location Theory, Urban Structure and Regional Change. Weidenfeld and Nicolson. London.
           




2 komentar:

  1. Terima kasih Mas Triyanto. Saya sangat terbantu untuk membuat rumusan masalah pada tugas matkul komunikasi pembangunan.

    BalasHapus